Rabu, 31 Desember 2008

TERNYATA, SAYA MAKIN RAJIN NONTON FILM DI BIOSKOP!

Tahun 2008 saya lalui dengan menonton di bioskop dalam frekuensi yang cukup sering untuk ukuran saya yang (dulunya) malas ke bioskop. Seingat saya, dalam kurun waktu setahun, saya sudah menyaksikan (di bioskop) film-film sebagai berikut (saya ingat-ingat dulu ya....) :

FILM INDONESIA

Ayat-ayat Cinta
Ini film pertama yang saya tonton pada tahun 2008. Bersama adik, sepupu-sepupu dan tante-tante saya, saya ditraktir oleh om yang kebetulan duitnya memang cukup banyak. Gara-garanya sepele : om saya itu kenal baik dengan Om Burhan, suami Marini saat ini (pemeran ibunya Carissa Putri) beserta Marini-nya sendiri. Saya pribadi sih kurang suka film ini. Dongeng banget. Tapi jangan bilang-bilang om saya ya, saya tuh sebel banget melihat akting Marini yang sok cakep. Pst... ini rahasia kita, ya!




Tarix Jabrix
Saya lebih suka film ini daripada AAC. Walaupun tidak lucu-lucu amat, setidaknya film ini tidak sok 'berat', tidak sok art. Lagipula, saya suka soundtrack-nya juga enak buat didengarkan kok.





Cinta Setaman
Menonton film ini bikin saya menyesal.... Huh, seandainya dalam daftar pemerannya tidak ada nama Ria Irawan, Nicholas Saputra dan Surya Saputra, saya sudah ngomel-ngomel sendiri mengutuk film yang katanya 'personal' ini. Nico yang main jadi Aa' Penjual DVD ternyata punya cara yang aneh untuk menyatakan cinta : dengan mengeluarkan 'isi kandang binatang peliharaan dari mulutnya'. Sebel banget mendengar orang ngomong jorok!



Takut
Saya menonton ini gara-gara malas pulang cepat-cepat setelah membeli tiket Jiffest. Ya sudah, meski meringis gara-gara harus membayar tiket yang harganya selangit (bagi saya), saya masuk saja ke audiotorium untuk menonton. Katanya film ini kelas internasional, diproduseri oleh dua bule yang saya tidak kenal namanya, apalagi orangnya.... Dan... dari enam cerita yang ditampilkan, hanya Show UnitThe List dan Dara yang cukup memuaskan. Yang lainnya, Peeper, Titisan Naya dan The Rescue (duh, ini nyontek film nagri ya?), di mana letak ke-Takut-annya?!


Drupadi
Ternyata benar, kita tidak boleh menggantungkan harapan setinggi langit, bisa kecewa, nantinya. Film ini membuktikannya. Di teater, begitu film usai, ada penonton (yang mungkin adalah pemain/kru/pendukung film ini) yang berinisiatif bertepuk tangan untuk memancing penonton lain melakukan hal serupa. Tapi yang terpancing hanya segelintir. Sisanya--termasuk saya--ogah memberi penghargaan serupa. Kecewa berat, film yang digadang-gadang akan bagus, membela perempuan blablabla ini ternyata mutunya sependek durasinya. Maaf ya Mbak Dian, Mas Dwi, Mas Nico dan Mas Ario serta Kak Riri dan Mbak Mira... mendingan bikin film berlatar masa kini deh, ga usah sok art.

3 Doa 3 Cinta
Kalau yang ini, sudah saya tonton di bioskop sebanyak... 6 kali! Selain karena kagok (tapi suka) melihat Nico jadi kiai, juga karena karakter-karakter kocak seperti Rian dan Zaenal dalam film perdana Nurman Hakim ini. Meski gambarnya agak buram dan alurnya lambat, tokoh-tokoh dalam filmnya yang digambarkan amat manusiawi ini bikin saya jatuh cinta.... Dai suki desu!

FILM LUAR NEGERI

The Dark Knight
Film terbaik tahun 2008! Saya bisa bilang apa lagi? Seandainya waktu itu duit saya banyak, mungkin saya sudah menonton film ini sampai belasan kali!




Quantum of Solace
Ehm... agak membingungkan meskipun saya sudah menonton prekuelnya. Lumayanlah, James Bond-nya kurang cakep tapi aksinya oke!






Twilight
Ho... ini film yang romantis dan bikin penasaran. Wajah Bella yang manis, Edward yang ganteng sekaligus mengerikan dan Jasper yang cakep, bikin mata saya terhibur. Selain itu, saya juga suka melihat kulit Edward yang berkilauan diterpa sinar matahari. Ceritanya sih biasa, porsi tegangnya juga baru benar-benar ada 30 menit menjelang film usai. Tapi, okelah sebagai hiburan.




Dunya & Desie
Film Belanda untuk remaja dengan tema yang cukup 'berat' tapi dikemas dengan ringan dan menghibur. Tapi, apa akan lolos menjadi calon penerima Oscar 2009 kategori Film Berbahasa Asing? Kita lihat saja nanti. Eh, Maryam Hassouni (Dunya) tampangnya ga kalah dengan artis bule. Cantik banget!





Sekian dulu.... Sepertinya masih ada film yang belum saya sebutkan, tapi hanya judul-judul di atas yang saya ingat saat ini. Kapan-kapan saya isi lagi, deh.

Selamat Tahun Baru 2009!

Read More..

Sabtu, 27 Desember 2008

JUNJOU ROMANTICA : COWOK-COWOK PENUH CINTA

Silakan tertawa melihat judul di atas. Habis, saya tidak punya ide lain mengenai judul yang lebih bagus dan tidak norak. Apalagi, saya belum menuntaskan musim pertama serial anime yang mempunyai cerita yang amat berbeda dengan anime lain yang selama ini saya tonton.

Bagi yang belum tahu, JUNJOU ROMANTICA (mungkin bisa dibaca JUNJOO ROMANTICA) itu... adalah anime tentang cowok-cowok gay, yang menyorot kehidupan (percintaan) mereka. Yaoi berupa anime yang diangkat dari karya Shungiku Nakamura, yang pertama yang saya ikuti dengan penuh minat. Soalnya, sebelumnya, saya memang kurang suka film-film gay, termasuk yang non-animasi. Namun setelah melihat tampang Misaki-kun yang imut dan hubungannya yang kompleks dengan Usagi-san (kelinci?) yang kaya, terkenal dan terpelajar (tapi aneh), saya berpikir bahwa tidak apa-apa jika sesekali kita menikmati sesuatu yang berbeda dengan keseharian kita. Kalau memang bagus, kenapa tidak dinikmati saja? Lagipula, lucu... meski ceritanya mirip sinetron, (tapi tidak ada adegan tampar-menampar) penggarapannya bagus juga, enaklah buat ditonton.

Karena masih baru, saya masih agak bingung dengan hubungan di antara tokoh-tokohnya. Yang pasti, ada Misaki, cowok 18 tahun yang sempat jadi murid Akihiko Usami dan kini ngekos di rumah sang guru. Akihiko atau Usagi-san sendiri adalah novelis terkenal yang sebelumnya cinta mati pada kakak Misaki, Takahiro. Sayang, cintanya tak berbalas, malah Misaki yang jatuh cinta duluan pada sang sensei...


Selain itu, ada Hiroki, cowok teman masa kecil Usagi-san yang cintanya pada Usagi-san juga tak berbalas. Karena itu, saat Nowaki memasuki hidupnya, ia mulai belajar melupakan Usagi-san yang ia sapa Akihiko. Tapi, ada juga Miyagi--rekan Hiroki sesama dosen yang baru saja bercerai dengan istrinya--yang kelihatannya juga tertarik pada Hiro-san yang imut.. Belakangan, Miyagi malah menerima cinta Shinobu, bekas adik iparnya yang sebaya dengan Misaki...

Jadi, tampaknya, cowok-cowok yang model rambutnya sama semua ini adalah cowok-cowok setia, agak goblok karena mengharapkan cinta tanpa pernah mengatakan pada orang yang dicintai tapi... manis juga.... Misaki yang imut, Hiro-san yang pemarah tapi rapuh dan Miyagi yang terkenang-kenang pada sang sensei yang telah lama tiada... what an anime! Saya setuju bahwa desain karakter dalam anime ini sangat matang dan membuat iri.

Soalnya, bagi saya, mendesain karakter yang unik tapi tidak mubazir itu susaaah sekali! Yah, problem penulis cerita di Indonesia pada umumnya.... Tidak percaya? Lihat saja sinetron-sinetron (dan film) Indonesia, banyak karakter tidak dibutuhkan dalam cerita, yang cuma menuh-menuhin frame! Tapi... sudahlah. Lagipula, saya juga masih sering melakukan kesalahan tersebut di atas. Yah, ibarat ikut menampar diri sendiri. Hehehe

Kembali ke Misaki-kun dan kawan-kawan. Anime ini membuat saya membuang jauh-jauh rasa malu karena menonton 'film kartun' yang (katanya) hanya untuk anak-anak. Benar-benar penasaran dibuatnya, ingin tahu apa yang terjadi selanjutnya antara Misaki-kun dengan Usagi-san, Hiro-san yang otaknya encer dengan Nowaki dan tentu saja Miyagi yang setengah mati menghadapi kekerasan hati Shinobuchin.

Selain itu, mungkin karena ada 'sensor', adegan-adegannya tidak vulgar, meskipun banyak yang klise. Adegan ciuman yang paling sering ditampilkan untuk menggambarkan cinta di antara mereka yang membara (busyet, kebakaran dong!). Usagi-san cukup 'nakal' dalam memperlakukan Misaki-kun. Hiro-san yang gengsian mau saja dipeluk dari belakang oleh Nowaki yang madly in love with him. Miyagi yang suka bercanda (dia cowok favoritku!) tapi sukses bikin Shinobu menangis sesenggukan....Baik Misaki-kun mau pun Hiro-san sering marah-marah atau kesal pada pasangan masing-masing, tapi buntut-buntutnya, tetap saja mau satu diperlakukan apa saja. Sementara Miyagi, dia yang 'pegang kendali'. Ikiiti shita....

Junjou Romantica memang bukan cerita yang jamak terjadi dalam keseharian kita. Menonton film ini membuat kita berpikir bahwa dunia ini isinya gay melulu--ya iyalah, namanya juga yaoi--yang butuh cinta. Cieee.... Pertemuan Hiroki atau Hiro-san dengan Nowaki pun mirip dengan pertemuan sepasang (calon) kekasih dalam kisah cinta straight, sangat kebetulan. Kebetulan juga, Nowaki langsung cinta pada pandangan pertama. Yang agak unik mungkin pertemuan Miyagi dan Shinobu, sampai-sampai Miyagi sempat mengira Shinobu membencinya!

Bagusnya, orang-orang di sekitar mereka--baik yang gay mau pun bukan--sangat pengertian. Konflik dalam cerita ini benar-benar hanya berpusat pada diri mereka--pasangan gay bersangkutan--sendiri. Beda banget ya dengan sinetron kita yang sumber konfliknya berasal dari tokoh di luar diri tokoh utamanya. Maksudnya, yang berasal dari tokoh antagonis yang ga ketulungan jahatnya....

Dan oh ya, tak seperti cerita gay yang acap digambarkan (di Indonesia), kaum gay dalam cerita ini tidak digambarkan aneh, posesif dan gila. Cinta ya secinta-cintanya, tapi tak sampai pada taraf "kalau saya tidak bisa memilikimu, orang lain juga tidak bisa" atau "kaulah segalanya, tak ada yang lain sampai aku mati". Yah... sama-lah dengan kaum straight, kalau pacaran ga gitu-gitu amat, ga kayak Romeo dan Juliet, ga sampai terobsesi hingga mata hati jadi buta....

Yeah, sudah seharusnya seperti itu 'kan? Meskipun cinta mati, jangan sampai mata tertutup untuk melihat orang lain. Hehehe. Yang wajar-wajar inilah yang membuat saya suka pada Junjou Romantica. Meskipun, kalau sampai mengalaminya sendiri, wah... jangan sampai, deh!

Misaki-kun, dai suki desu.... Eh, ngomong apa sih, ini 'kan cuma anime?!

Read More..

Kamis, 18 Desember 2008

3 DOA 3 CINTA : PANGGUNGNYA DUO YOGA

Detos (maklum, yang nulis orang Depok!), Kamis siang, 18 Desember 2008. Usai interview kerja--yang kelihatannya akan gagal lagi hehehe--yang melelahkan di salah satu sekolah di Parung (jauh juga dari rumah saya), saya memilih 'kabur' ke salah satu pusat perbelanjaan paling beken di kota Depok itu. Bukan mau belanja, melainkan nonton....

Setelah dibuat manyun dengan karcis yang 15 ribu rupiah (kirain sama dengan di Cijantung, cukup ceban hehehe), saya cukup puas menyaksikan kisah tiga santri Pesantren Al-Hakim yang shalih dan... cakep-cakep hehehe. Ada Huda (Nicholas Saputra) yang porsinya paling banyak padahal konflik yang dihadapinya lebih ringan daripada Syahid (Yoga Bagus), yang tak cuma kehilangan ayah, tetapi juga harta benda dan kebebasannya. Tapi di antara mereka bertiga, karakter yang paling manusiawi--menurut saya, lho--adalah Rian (Yoga Pratama, yang dapat Citra 2008 itu), santri paling jahil yang suka bikin ketawa.

Ceritanya, Huda adalah anak angkat dan calon menantu Kiai Wahab yang sudah tidak sabar ingin mencari ibu kandungnya, selepas dari pesantren. Sayang, santri yang paling disayang ini merasa tidak enak hati pada Kiai Wahab (Brohisman) yang ternyata mempunyai rencana untuk cowok culun ini. Mau dinikahkan dengan Fatimah (atau Farokah? Saya lupa nama tokohnya, diperankan Diah Arum), putri Kiai Wahab, coy! Padahal, Huda naksir Donna Satelit (Dian Sastrowardoyo), penyanyi dangdut yang goyangnya justru tidak mirip satelit. Apalagi, Donna berjanji membantu Huda mencari alamat ibu Huda di Jakarta. Tambah jauhlah hati Huda dari keinginan ayah angkatnya....


Lalu ada Rian, favorit saya. Cowok jahil ini ngidam bikin film. Bahkan, dia belajar banyak soal proyektor film dari Pak Toha (Butet Kartarejasa), proyeksionis layar tancap di pasar malam d mana Donna juga menjadi penyanyi. Berbekal hadiah handycam dari ibunya, dia ingin memajukan usaha keluarga. Namun, kenyataan bahwa ibunya mau menikah lagi membuat Rian ngambek dan tak mau lagi pulang ke Surabaya, kota asalnya. Sebaliknya, dia ingin ikut rombongan Pak Toha saja, menjadi proyeksionis layar tancap....

Kisah lainnya--dan paling berat sekaligus agak aneh--adalah konflik yang melanda Syahid. Berasal dari keluarga miskin dengan ayah yang gagal ginjal, membuat Syahid menjadi labil. Dia menyalahkan 'Yahudi-Kafir-Amerika' atas kemalangan yang menimpa ayahnya dan terhanyut dalam Islam aliran 'garis keras'. Bahkan, dia bertekad mati syahid, lalu masuk surga, sesuai dengan namanya sendiri. Di sinilah anehnya. Alih-alih mengusahakan kesembuhan ayah yang sangat dicintainya, dia malah ingin mengorbankan diri dan hanya berharap berjumpa ayahnya di akhirat, di surga. Putus asa sih putus asa, tapi rasanya aneh saja...

Di luar kisah trio badung yang suka mengendap-endap keluar pondok pada tengah malam untuk bersenang-senang ini, ada cerita Kiai Wahab yang ingin anak laki-laki untuk mengelola pesantren. Dan... satu lagi, kisah hombreng di pesantren!

Hah? Gay?

Iya! Pas adegan-adegan pelecehan seksual yang dilakukan oleh santri senior (atau pengawas?) terhadap adik kelas Huda, saya jadi teringat teman di kampus dulu. Semasa SMA, karena bandel, dia dikirim ke sebuah pesantren. Eh, baru saja seminggu di sana, sudah ada (seorang santri senior!) yang menggerayangi tubuhnya saat santri-santri lain sedang tidur. Wah, teman saya langsung kabur, mengancam akan bunuh diri di depan orang tuanya kalau dikembalikan ke pesantren. Tapi ada hikmahnya juga, setelah itu, teman saya itu jadi sadar, bertobat, insyaf, tidak bandel lagi. Lucunya, waktu saya tanya perasaannya pas 'diperkosa' kakak kelasnya, dia menjawab, "yah... gitu, deh..." Yeee... itu sih ada ogahnya, tapi ada juga pengennya.... Dasar!

Hmm... ternyata di pesantren memang bisa saja terjadi 'hal seperti itu'. Padahal, menurut buku yang entah apa judulnya, siapa yang menulis dan kapan saya baca (saya lupa!), kaum homoseksual akan mengalami siksaan yang mengerikan : ditusuk tombak dari (maaf) anus hingga tembus ke mulut! Hiii.... Masalahnya, ini di pesantren, gitu lho.... Tempat di mana orang belajar mengendalikan diri dan mendekatkan diri pada Allah.

Tapi yah... kembali lagi, santri pun hanya manusia. Butuh kasih sayang dan butuh 'memerkosa' eh penyaluran hasrat....

Cukuplah soal santri gay. Yang pasti, 3 Doa 3 Cinta cukup menghibur karena humor-humornya yang manusiawi dan pernah juga saya alami : mengantuk saat mendengar khotbah dan tertawa melihat teman sedang casting. Saya sih kurang peduli dengan pesan moralnya karena pesan moral sudah cukup saya dengar dari Mamah Dedeh dan Aa' (ini acara favorit tante saya, yang suka saya tonton juga) tiap pagi di TV, yang saya cari hanya HIBURAN.

Alurnya agak lambat. Sampai saat Huda dicium Donna (oh yes... Huda tak 'melawan' saat disosor Donna, malah menikmati lalu hanya berseru, "astaghfirullaaah!"), saya belum menyadari bahwa Huda pun punya masalah cukup pelik seperti halnya dua sobatnya. Konfliknya begitu 'halus'.... Tapi, sedih juga sih, melihat trio santri cakep plus Kiai Wahab masuk penjara hanya gara-gara sebuah handycam.... Pelajaran dari insiden ini adalah... jangan main-main dengan kamera kalau belum mengerti cara mengoperasikannya!

Tapi, sudahlah. Seperti yang saya--yang banyak omong ini--sebutkan tadi, saya cukup puas. Akting Yoga Pratama dan Yoga Bagus, paling ciamik, lebih bagus daripada Nico dan (apalagi) Dian. Goyang satelit? Satelit apaan? Mestinya tiap kali goyang, Dian pakai pemeran pengganti. Diganti Olga Syahputra, misalnya hehehe.... Pantesan ga laku, soalnya goyangnya kurang hot!

Bahkan, saya jadi merasa juri FFI 2008 mesti lebih melek lagi kalau menilai film. Selain Yoga Pratama, mestinya Yoga Bagus masuk nominasi juga tuh. Kalau Mas Nico sih.... Bolehlah, walaupun masih ke-Rangga-rangga-an. Saya juga kagok pas melihat Nico menjadi pengajar (jadi pengganti Pak Kiai dan jadi kepala rumah tangga yang sarungan melulu!) di pesantren itu. Mungkin karena terpengaruh selentingan-selentingan yang saya dengar tentang dirinya, ya? Hehehe.

Salut buat Nurman Hakim dan segenap tim pembuat film yang berusaha menyajikan film drama tentang dunia (yang berhubungan) dengan Islam. Saya jadi merasa bahwa, tidak ada yang salah jika sesekali kita berbuat khilaf, asalkan jangan keterusan dan jangan sampai disengaja. Tidak ada manusia yang sempurna. Seorang santri pun bisa jadi tukang ngintip seperti Rian mengintip dan bahkan nekad mengajak jalan calon istri Huda....

Maka, pesan moral dari 3 Doa 3 Cinta ini adalah (apa, ya?)... saya ingin menontonnya satu atau dua kali lagi. Setelah kecewa berat pasca menonton film-film seperti CINTA SETAMAN dan DRUPADI, akhirnya kutemukan juga film (Indonesia) yang bagus...

Wassalam!

Read More..

Selasa, 16 Desember 2008

DRUPADI YANG (TETAP) MENYEBALKAN

Akhirnya saya bisa juga menonton salah satu film yang saya tunggu-tunggu tahun ini, pada hari terakhir Jiffest 2008. Dari judul filmnya saja, sebenarnya saya kurang suka karena merujuk pada salah seorang tokoh dalam kisah Mahabrata yang--bagi saya--menyebalkan : Drupadi.


Drupadi menyebalkan? Bukankah dia tokoh wanita yang sangat diagung-agungkan dalam kisah Mahabrata versi Jawa?

Hmmm... Iya, sih. Tapi kalau tidak suka, mau apa lagi? Sejak mengenal kisah ini, baik versi asli--India--mau pun versi Jawa, saya kok kurang respek pada tiga tokoh ini : Yudhistira (karena dengan gobloknya mau saja dikerjai d meja judi), Drupadi (karena ikut memanfaatkan perang maha dahsyat untuk membalaskan dendamnya tanpa mengotori tangan sendiri) dan... Arjuna (karena selain menjadi ksatria paling ganteng, dia juga menjadi ksatria paling ganjen sejagad, ksatria kok genit!).

Sebaliknya, saya memfavoritkan Arimbi (tubuhnya yang 'bohay' mengingatkan saya pada seseorang yang istimewa), Bima (karena dia berangasan dan macho tapi juga bisa masak!) dan Karna (sosok baik dan anti persekongkolan yang menjadi saingan Arjuna).

Karna?

Hehehe, lebih aneh lagi kalau saya menyebut siapa tokoh yang paling tidak saya sukai dalam kisah Ramayana. Dia adalah Wibisana, si pengkhianat Rahwana. Meskipun berpihak pada--katanya--kebenaran yang diwakili oleh Rama, orang yang meninggalkan keluarganya tetap menjadi sosok yang minus di mata saya.

Eh, kok jadi membahas Wibisana, sih? 'Kan yang ditonton film tentang Drupadi, jadi yang dibahas ya cewek yang satu itu, dong! Hehehe, tadinya, saya berharap, setelah menonton film yang katanya merupakan interpretasi baru kisah Mahabrata ini, saya jadi lebih memahami Drupadi. Pada akhirnya, saya jadi memiliki pandangan yang baru tentang Drupadi : bahwa dia bukan wanita yang menyebalkan lagi.

Nyatanya, setelah tiga perempat jam duduk di kursi teater, saya tetap saja merasa bahwa Drupadi tetaplah wanita yang hanya bisa berteriak menyalahkan orang lain atas kemalangan yang menimpanya. Dan tentu saja, tetap menyebalkan...



Menonton film pendek karya Riri Riza (jujur nih, saya menonton film ini selain karena tertarik pada para pemain pria yang mengenakan kostum yang ehm, juga karena saya merasa punya ikatan emosional saja dengan nenek dan sepupu sang sutradara hehehe) ini adalah pengalaman yang membosankan. Berlambat-lambat di arena permainan dadu, padahal menurut saya tidak penting-penting amat. Okelah, adegan Drupadi hendak ditelanjangi oleh Kurawa mendapat porsi yang lumayan. Tapi sayangnya... Drupadi tetap saja digambarkan sebagai perempuan cengeng!

Karena--katanya--film ini dibuat berdasarkan sudut pandang Drupadi dan menurut Dian Sastro--produser merangkap pemerannya--adalah wanita yang menolak dirinya dijadikan bahan taruhan, saya mengharapkan sesuatu yang lebih dramatis daripada adegan kain Drupadi yang tak ada habisnya saat hendak ditelanjangi. Tapi yang disuguhkan malah sosok Drupadi yang lemah, yang hanya bisa menangis lalu berteriak menyalahkan para suaminya dan para sesepuh Hastinapurna--semuanya pria!--yang diam saja melihat penghinaan tersebut. Kalau Drupadi memang menolak dirinya dijadikan bahan taruhan dan memanusiakan dirinya, kenapa tidak ditampilkan saja adegan Drupadi melawan dengan pedang terhunus untuk membela kehormatannya, tanpa bergantung pada orang lain? Syukurlah Krishna menolongnya. Tapi tetap saja, Drupadi versi baru ini kelihatan sama dengan Drupadi yang saya tahu...

Lalu ada Karna, laki-laki yang mendendam pada Drupadi karena ditolak ikut sayembara memanah di awal film. Meskipun saya ngefans pada tokoh yang satu ini, saya kok merasa kemunculannya mubazir? Apalagi, pemerannya (Donny Alamsyah) kurang 'montok' tubuhnya hehehe. Soalnya, faedah keberadaan Karna dalam adegan Drupadi ditelanjangi tidak jelas. Dia cuma berdiri, memandang puas pada Drupadi dan Arjuna yang tak berdaya.... Huhuhu Karna, kok kamu digambarkan seperti itu, sih?

Tapi... suda
hlah, saya cukup menikmati pemandangan 'indah' dalam film ini (meskipun masih mikir, nasib penari berkalung permata yang diambil Kurawa bagaimana, ya?). Yap, apalagi kalau bukan kostum yang dikenakan oleh para pemain film bertabur bintang ini plus tentu saja, para pemainnya sendiri hehehe. Dian yang cantik (duh, beruntung sekali anak pengusaha yang bisa menjadi pacarnya itu!), Nicholas Saputra yang montok (sayang, Arjuna malah jadi mirip Rangga di tangannya, kurang genit!), Dwi Sasono yang ehm (setelah melihat kumisnya, saya pikir dia cukup pantas menjadi Yudhistira) dan Ario Bayu yang bulu dadanya paling 'rimbun' (mungkin inilah alasan dia terpilih memerani Bima), ow... itu semua menarik untuk disimak tanpa mengedipkan mata hehehe. Untuk kalian berempat, saya.... Ah, tidak jadi.... Malu...

Di luar itu, Butet Kertarejasa, tampil menonjol dan berhasil bikin sebal minta ampun berkat aktingnya sebagai Sangkuni. Untuk para pemeran Kurawa... yah, saya tahu, Kurawa digambarkan berwajah 'kurang beruntung'. Tapi, bukan berarti adik-adik Suyudana bisa digambarkan cungkring mirip personil The Changcuters 'kan?

Pada akhirnya, saya masih juga tidak mengerti, mengapa Drupadi menginginkan darah pentolan Kurawa untuk keramas. Apakah karena adegan Drupadi ditelanjangi tetap saja menampilkan Drupadi sebagai sosok yang lemah? Kelihatannya begitu. Drupadi tetap saja seorang yang (dulunya) teraniaya namun menganggap orang lain--baik langsung mau pun tidak--harus bertanggung jawab atas apa yang menimpanya. Padahal, kalau memang benar dia mandiri, bukankah sudah sewajarnya jika dia tidak terlalu menggantungkan nasib pada orang lain? Bayangkan, berapa banyak nyawa yang melayang dalam perang maha dahsyat yang sejatinya hanya demi membela kepentingan segelintir orang, termasuk Drupadi? Kok jadi mirip penyerbuan ke Irak ya?

Tapi... sudahlah. Memang, penonton cuma bisa protes, tidak tahu susahnya membuat film. Ya seperti saya ini.

Film Drupadi?

Hmmm... Membingungkan? Menyebalkan? Aneh?

Masa bodoh, yang penting bisa menikmati 'pemandangan indah' di dalamnya!


Read More..

Sabtu, 06 Desember 2008

TWILIGHT, DUNYA & DESIE : 2 FILM REMAJA YANG OKE-OKE SAJA

Catatan : Ini bukan review film. Cuma curhatan seorang Pasha setelah menonton dua film berturut-turut di hari dan bioskop yang sama...

Jumat tanggal 5 Desember 2008, untuk pertama kalinya saya menginjakkan kaki di FX, sebuah gedung kapital di samping Gelora Bung Karno. Saya memang tidak begitu suka mendatangi tempat seperti itu karena hanya akan membuat sakit hati melihat harga-harga yang ditawarkan di sana. Sebagai makhluk 'berbau' Kopaja atau Mayasari Bhakti (dan bukan bau Carolina Herrera atau berkulit kinclong ala Biotherm), saya lebih banyak menahan lapar (mata dan perut) jika harus memasuki tempat-tempat seperti FX maupun Plaza Indonesia...


Tapi, demi kecintaan pada film, minimal sebagai penonton, dengan menumpangi busway, akhirnya saya sampai juga di FX dan langsung menuju lantai atas, menuju bioskop. Ada urusan soalnya, urusan menonton salah satu film yang diputar di Jiffest 2008. Judulnya simpel : DUNYA & DESIE, film remaja berbahasa Belanda dan Arab yang disutradarai oleh Dana Nechustan.



Alasan membayar 20 ribu demi film ini juga simpel : karena berdasarkan sinopsis yang saya baca di buku program Jiffest 2008, cerita dalam film ini cukup simpel dan saya pikir tidak akan bikin kepala sakit seperti waktu menonton--katakanlah--film-film Garin Nugroho. Hehehe.
Tapi saya datang terlalu cepat. Film tayang pukul 16.30, sedangkan saat itu baru pukul 13.00. Masih bisa menonton satu film lagi sih. Saya pikir menonton satu dari dua film Indonesia yang tayang siang itu bisa membantu untuk membunuh waktu. Antara LOVE dan IN THE NAME OF LOVE, saya pikir saya lebih suka yang pertama meskipun belum pernah mendengar nama sutradaranya. Film yang kedua... ah, sutradaranya membuat saya 'trauma' menonton film-film karyanya pasca MENDADAK DANGDUT yang berisi gambar-gambar yang 'goyang-goyang' seperti goyangnya Titi Kamal. Jadi... LOVE saja, ah...

Namun pada satu saat, pandangan saya tertumpu pada poster film Hollywood yang menampilkan sepsang remaja nan rupawan yang membuat air liur saya hampir menetes seperti vampir melihat kambing eh darah segar manusia. Setahu saya, film itu, TWILIGHT, adalah film yang cukup ditunggu oleh penggemar novelnya. Mungkin saja ceritanya memang bagus. Namun yang pasti, saya lebih tertarik menikmati 'pemandangan indah' dalam film itu : dua pemeran utama yang sosoknya membuat saya sirik setengah mati. Hehehe.
Jadilah, saya mengeluarkan ekstra 15 ribu rupiah demi memuaskan nafsu eh hasrat melihat pemandangan yang 'menyegarkan' di layar lebar. Padahal, untuk pulang ke Depok, saya harus mengeluarkan biaya yang lumayan besar. Mudah-mudahan apa yang saya tonton ini sepadan dengan rasa lapar saya karena terpaksa tidak membeli cemilan teman menonton. Wuh!

Dan... memang sepadan. Walaupun TWILIGHT cukup muram, saya tersenyum-senyum menyaksikan humor-humor yang muncul lewat tokoh-tokoh 'penggembira' seperti Mike (Michael Welch) dan Eric (Justin Chon). Jasper (Jackson Rathbone) juga sempat mengundang tawa saat diperkenalkan pada Bella (Kristen Stewart) oleh Edward (Robert Pattinson) di rumah keluarga Cullen. Bahkan saat Alice menjilat tangannya yang berlumuran darah Bella di studio balet, di saat saudara-saudaranya berusaha mengalahkan James (Cam Gigandet) si vampir jahat, saya juga tertawa. Yeah, namanya juga film remaja, ya harus ada lucu-lucunya dong.

Oke, TWILIGHT punya cerita yang klasik, cinta 'terlarang' yang melibatkan Bella, seorang manusia berparas manis, dengan Edward Cullen, seorang vampir keren yang sulit dipercaya telah berusia 107 tahun (awet muda!). Bagaimana Edward menahan nafsunya untuk menggigit dan mencicipi darah Bella, oke, itu menarik. Saya suka adegan-adegan saat Edward menatap Bella--yang kata Mike--seperti hendak memakan Bella. Saya juga suka adegan 'panas' (yang sebenarnya tidak panas-panas amat, sih) di kamar Bella. Hehehe. Tapi yang paling mengasyikkan tentu saja melihat Edward menggendong Bella ke puncak pohon tinggi. Huf, pasti seru kalau manusia biasa memiliki kecepatan, kekuatan dan kemampuan membaca pikiran seperti yang Edward miliki. Dan bagaimana Edward--dan keluarganya--berjuang menyelamatkan Bella dari kejaran James, mungkin akan membuat cewek-cewek berkhayal, seandainya kekasih mereka memiliki cinta sebesar cinta Edward pada Bella...

Tapi dasar Hollywood. Supaya seru, dibuatlah Bella disiksa terlebih dahulu oleh James di studio balet sebelum Edward dan keluarganya datang menolong. Mirip film robot-robotan Jepang, James dikeroyok dan dibakar. 'Perang' antara geng James dengan Edward sekeluarga hanya berlangsung mungkin hanya dalam 30 menit terakhir dalam film. Semuanya sudah mencakup adegan pertemuan keluarga Cullen plus Bella dengan trio vampir pengisap darah manusia, kejar-kejaran di antara mereka dan perang. Simpel... karena sekali lagi, ini film remaja!

Yang simpel-simpel itu juga saya saksikan lewat film berikutnya, DUNYA & DESIE. Meskipun pihak Jiffest membuat kesalahan dalam menyusun sinopsis film dalam buku program, setelah menonton saya cukup puas dan tak terganggu. Ceritanya nih, tentang dua sahabat yang 'mengikuti jalannya' sendiri.

Yah, begitulah kira-kira. Dunya (Maryam Hassouni) melarikan diri dari perjodohan dengan sepupunya yang culun karena ngambek pada ibunya dan Desie (Eva van de Wijdeven)--yang juga ngambek pada ibunya--ingin memastikan bahwa ayahnya menginginkan dirinyanya meskipun mereka belum pernah bertemu. Bermacam peristiwa mereka alami saat bertualang mencari ayah Desie di Maroko, negara asal Dunya. Mulai dari dicopet dua cowok yang sok sayang kucing, didenda oleh polisi hingga menginap di penginapan kumuh.

Pada akhirnya, petualangan mereka membawa Desie bertemu dengan ayahnya dan Dunya menemukan kampung halamannya. Saat mereka kembali pada keluarga masing-masing, mereka menyadari bahwa sesungguhnya mereka dicintai oleh keluarga yang mereka tinggalkan. Filmpun diakhiri dengan pesta di pantai yang hangat penuh kekeluargaan. Simpel....

Nah, yang simpel-simpel itulah yang saya suka. Sederhana, tidak ribet, tidak aneh-aneh, ringan tapi tetap memuaskan hati.

Tapi... jelas sekali, TWILIGHT hanya untuk menghibur. Sementara DUNYA & DESIE dengan manis menampilkan persahabatan dua gadis berbeda bangsa, budaya dan agama yang berhasil menyelaraskan perbedaan di antara mereka.

Meskipun sama-sama merupakan film adaptasi, TWILIGHT diadaptasi dari novel berjudul sama karya Stephanie Meyer sedangkan DUNYA & DESIE diangkat dari serial berjudul sama karya Dana Dechustan, kepuasan yang saya rasakan berbeda.
Kalau menonton TWILIGHT, ya... semata untuk mencari hiburan yang berbeda. Maksudnya, terhibur karena puas memelototi cewek imut dan cowok ganteng tapi agak mengerikakan hehehe. Juga, tentu saja merasakan ketegangan yang lumayan-lah. Tapi, saya juga suka tuh tampangnya Jackson Rathbone (Jasper). Apalagi pas dia berusaha menahan diri sampai tegang banget karena takut melukai Bella.
Kalau DUNYA & DESIE, temanya agak berat. Tapi karena dikemas dengan ringan, saya asyik-asyik saja menonton sepak terjang mereka. Maryam Hassouni, sebenarnya tampangnya lebih menarik hati saya daripada Kristen Stewart. Untuk Eva van de Wijdeven, I don't like blondie... Terlepas dari fisik mereka, akting mereka oke. Tapi yang paling oke ya cerita filmnya yang berakhir dengan manis. Benar-benar, baik TWILIGHT maupun DUNYA & DESIE memahami selera penonton yang ga suka mikir seperti saya hehehe.
Akhir kata, setelah 'meracau' panjang lebar, saya hanya bisa bilang : seandainya film remaja di Indonesia dapat dibuat sebaik dan sematang ini.... Ihiks!

Read More..

Selasa, 28 Oktober 2008

MENGIRIM NASKAH SKENARIO KE PH

Oleh: Ari Kinoysan

Pertanyaan yang sering pula saya terima dari penulis-penulis skenario pemula adalah bagaimana cara mengirim naskah skenario ke production house atau rumah produksi. Sebenarnya tidak berbeda jauh dengan pengiriman naskah novel, tapi lebih baik saya tuliskan uraian singkat.

Bila anda sama sekali baru dan hendak mengirimkan naskah skenario ke PH, siapkan print out SKENARIO yang disertai dengan SINOPSIS GLOBAL, DAFTAR KARAKTER, JENIS CERITA, DURASI (WAKTU), dan SEGMEN PENONTON kalau bisa dilengkapi DAFTAR KELEBIHAN CERITA SKENARIO ANDA DIBANDINGKAN TAYANGAN-TAYANGAN YANG SUDAH ADA; dan jangan lupa BIODATA singkat dilengkapi alamat dan nomor telepon yang bisa dihubungi. Bila anda sudah pernah menulis beberapa skenario di tempat lain dan sudah pernah tayang, cantumkan di biodata anda, apa judulnya, tayang kapan, di stasiun televisi mana, dan bila memungkinkan adalah data rating tulisan anda. Data ini penting, karena industri sinetron dan pertelevisian di Indonesia patokannya rating, kalau rating bagus---apapun tulisan anda, akan lebih cepat difollow up.

Bila anda mengirimkannya lewat pos atau ekspedisi pengiriman, pastikan anda mengisi semua daftar kolom isian untuk pengirim dan penerima. Hal ini untuk melacak bila terjadi sesuatu dengan naskah anda. Misalnya, naskah anda tidak sampai ke tujuan.

Bila anda menyerahkannya langsung pada PH, mintalah tanda bukti penyerahan naskah dan tanyakan kepada siapa anda mengurus follow up naskah anda tersebut dan berapa lama anda akan dapat kabar. Biasanya lebih kurang 3-6 bulan. Makin besar PH yang anda tuju, makin lama pula waktu untuk menerima kabar tentang naskah anda.

Bagi yang sudah terbiasa menulis atau bekerja sama dengan PH tentu tidak masalah untuk mengirimkan via email karena cepat dan mudah, dan lebih praktis. Kemungkinan untuk disalahgunakan juga kecil karena sudah saling kenal. Tapi bagi yang baru sama sekali, cara ini tidak saya sarankan. Selain menghindari penyalahgunaan---meskipun sulit sekali ini terjadi karena produksi satu cerita itu tidak hanya melibatkan satu dua orang, tapi banyak orang dan tidak mungkin penulis tidak terlibat---karena penulis harus menuliskan blue print skenario yang disepakati tim, sebelum produksi jalan. Print out juga membantu pihak PH untuk cepat membacanya.

Kalau anda sudah mengirimkan naskah, selama tiga bulan tidak ada kabar, tanyakan tentang naskah tersebut. Kinerja di PH jauh lebih ribet dan kompleks daripada penerbitan. Jadi, anda yang sama sekali baru harus lebih sabar kalau naskah anda belum tersentuh sama sekali dalam waktu tiga bulan. Kalau anda tidak sabar dan buru-buru ingin menawarkan ke PH lain, anda bisa menariknya kembali.

Apakah etis menyerahkan/mengirimkan satu naskah ke beberapa PH yang berbeda-beda dalam satu waktu? Jawabannya, sama seperti di pengiriman naskah novel; bisa beragam. Namun menurut saya pribadi, tidak etis. Lebih baik mengirimkan naskah ke satu PH lebih dulu baru ketika ditolak, anda bisa tawarkan ke PH lain.

Ke mana dikirimkan? Ada banyak PH di Indonesia, anda bisa browsing sendiri di internet dan berikut ini adalah alamat beberapa PH.

MULTIVISION PLUS: Jl. KH. Hasyim Ashari Kav 125 B Blok C2 No 30-34; Kompleks Perkantoran Roxy Mas; Telp 021 6335050 hunting; Jakarta 10150

MD PRODUCTION: Jl. Tanah Abang III/23A; Telp 021 3451777; Jakarta 10160
RAPI FILM: Jl. Cikini No 7; Telp 021 3857175; Jakarta Pusat

SINEMART: Jl. Raya Kebayoran Lama No. 17 D; Telp 021 5309228; Jakarta Selatan
SORAYA INTERCINE FILM: Jl. Wahid Hasyim 3 Menteng; Telp 021 39837555; Jakarta 10340

Pertanyaan lain yang sering muncul, benarkah kalau tidak punya relasi di PH, naskah kita akan ditelantarkan dan tidak diurus, bahkan disalahgunakan?

Sama sekali tidak benar. Saya adalah orang asing yang tidak tahu apa-apa dan tidak tahu siapa-siapa ketika mengirimkan contoh tulisan saya ke PH. Follow up yang cepat padahal waktu itu saya domisili di Yogyakarta, mungkin karena keberuntungan saya---tapi ke mana pun saya melangkah dan menitipkan karya saya, saya percaya kalau karya itu bagus dan layak akan cepat difollow up.

Jadi yang paling penting adalah buat tulisan yang bagus. Bukankah itu pekerjaan seorang penulis?
Dan setelah sekian waktu saya bekerja di PH, saya menjadi tahu penolakan atau tidak ada follow up dilakukan karena memang cerita dan skenario tersebut tidak layak untuk difollow up. Jadi, jangan pernah takut untuk mencoba dan terus berkarya. Kalau ditolak, ya tawarin lagi ke tempat lain atau bikin lagi yang jauh lebih bagus. Di sini anda harus lebih aktif untuk tanya kabar naskah ya, karena siapa lagi yang paling peduli dengan karya anda pertama kali kalau bukan anda sendiri?

Adalah bagus kalau anda punya relasi di PH tertentu, tapi itu tidak akan menjamin karya anda bisa lolos seleksi yang luar biasa ketat. Apalagi setiap hari naskah yang diterima cukup banyak. PH punya banyak pilihan dan kalau karya anda tidak benar-benar ’menjual’ jangan pernah berharap akan ada follow up.

Berbeda dengan penerbit, PH biasanya tidak mengembalikan naskah yang masuk, kecuali anda ambil sendiri. Kalau anda tidak tanya kabar naskah anda dan tidak ada follow up, dalam waktu setahun naskah-naskah itu akan dihancurkan. File-file yang dikirim lewat email pun akan dimusnahkan. Jadi, nggak usah terlalu khawatir akan disalahgunakan.

Nah, selamat menulis skenario dan selamat mengirimkannya. Semoga bermanfaat.
Kinoysan

Diambil dari blog Ari Kinoysan

http://kinoysan.multiply.com/journal/item/19/mengirim-naskah-skenario-ke-ph


Read More..

Sabtu, 30 Agustus 2008

WHY KISSING ALWAYS BE THE ANSWER?

Sesuai judulnya, tulisan ini bicara tentang adegan kiss-kissan yang tampaknya menjadi adegan 'wajib' dalam berbagai film, tak terkecuali film Indonesia. Tidak peduli film itu film romantis--roman manis hati iblis :)--mau pun film horor, biasanya ada adegan 'begituan', minimal adegan ciuman baik yang hot mau pun yang 'numpang lewat'. Baik yang artistik mau pun yang vulgar. Baik yang membuat badan 'panas dingin' karena sangat ehm mau pun yang membuat 'tertawa sampai menangis' karena sangat kaku hingga terlihat konyol. Mungkin, satu-satunya adegan ranjang yang membuat saya tersenyum maklum adalah adegan ranjang Jack Nicholson-Diane Keaton dalam Something's Gotta Give (2003). Yang lainnya... reaksi saya tentu berbeda-beda. Tapi umumnya reaksi saya adalah : perlukah adegan ini? Relevan-kah dengan tema film-nya sendiri?

Jangan salah sangka dulu. Saya bukan makhluk 'antik' yang sok suci. Malah, adegan Rangga mencium Cinta (pelajaran penting : cowok cool tetaplah cowok, main nyosor begitu ada kesempatan) dalam Ada Apa dengan Cinta? (2002) adalah adegan favorit saya selain adegan Rangga mengejar kawanan yang melempari rumahnya dalam film remaja laris itu. Tampaknya, ciuman itu memang 'harus' diberikan Rangga, sebuah ciuman yang terpaksa saya maklumi karena dia--Rangga--akan pergi jauh namun juga enggan melepaskan Cinta.


Meskipun beralasan, diam-diam saya 'terusik' juga. Mengapa berciuman selalu menjadi jawaban atas pertanyaan : "maukah kamu menjadi pacarku?" Bukankah kalau 'ditembak', kita bisa saja menjawabnya dengan pendek, "ya" atau kalau suara sedang 'hilang', apa susahnya mengangguk saja? Kenapa harus melibatkan nafsu segala?

Sebenarnya, saya sih senang-senang saja menonton film yang ada adegan kiss-kissan-nya. Hanya, yang menjadi pertanyaan saya : apa tidak ada cara lain untuk menunjukkan bahwa Si A dan Si B sedang dimabuk cinta?

Iya, saya terusik karena curiga : jangan-jangan para pembuat film sudah kehabisan ide untuk menggambarkan bagaimana dua insan sedang dimabuk cinta (cieee... 70an bang-get...) hingga dipilihlah jalan pintas : ciuman di daerah sensitif, terutama bibir. Malah, kadang lebih parah lagi, pakai adegan ranjang segala, padahal film Indonesia!

Mengapa ciuman selalu menjadi jawabannya? Mengapa hubungan seks (pra nikah) menjadi hal yang menyenangkan untuk dilakukan secara bebas? Padahal kita--jauh-jauh hari--sudah di-doktrin bahwa melakukan hubungan seks pra nikah adalah berbahaya karena dapat menyebabkan kehamilan tak diinginkan, penularan penyakit seksual dan seterusnya. Ciuman di bibir--apalagi yang french kiss--tidak dianjurkan karena selain menjadi pembuka 'jalan' menuju 'adegan ranjang', juga dapat menularkan penyakit melalui air liur.

Jadi, dengan segala fakta menakutkan itu, mengapa film (terutama film Indonesia!) masih saja mengumbar adegan seks yang kadang hanya menjadi tempelan untuk memikat penonton semata?

Seiring dengan berjalannya waktu, basa-basi model begini semakin kasar dalam penyampaiannya. Film-film yang mengaku mengusung tema komedi dan sex education untuk remaja justru menjadi bumerang bagi keselamatan remaja itu sendiri. Agar tidak dituding film mesum, ditambahkanlah embel-embel sex education, padahal ujung-ujungnya sama : menjadikan seks sebagai komoditas dagang. Mirip-miriplah dengan apa yang ditampilkan dalam film-film horor yang menyisipkan adegan 'panas'.

Kenapa harus begitu? Film horor ya horor aja, tidak usah dihubung-hubungkan dengan seks. Demikian juga dengan film remaja yang sok dengan sex education-nya. Kalau mau bikin film ala Warkop DKI, kenapa harus gengsi dan mengaku-ngaku untuk mendidik remaja (dan kadang-kadang, kaum dewasa) segala?

Sialnya, dengan alasan mengusung tema 'mendidik', visualisasi yang terhitung vulgar dan klise pun dihalalkan. Jarang ada adegan ranjang dan ciuman dalam film Indonesia yang enak dipandang. Sebagian bikin eneg, malah ada yang bikin saya ngakak karena kasar seperti harimau bertarung. Nonton kucing kawin masih lebih enak 'kali.

Sudah visualisasinya jelek, masalah yang lebih besar adalah apa yang sudah saya pertanyakan tadi : perlukah adegan ciuman dan ranjang tersebut dalam membangun cerita? Kalau kita sudah tahu bahwa si A dan si B pacaran, mengapa harus membuang-buang frame dengan adegan ciuman lagi? Lalu, apakah pernyataan cinta harus selalu dengan cara mencium pasangan di bibir?

Kalau boleh usul, sebaiknya adegan-adegan mesra yang tak perlu tersebut diganti dengan adegan-adegan yang tujuannya untuk memberikan informasi pada penonton mengenai karakter tokoh bersangkutan. Sebab, dalam film (maaf, sekali lagi, terutama dalam film Indonesia!), kita sering tidak mendapatkan informasi yang cukup mengenai karakter seorang tokoh. Misalnya, kita tidak tahu apa pekerjaan tokoh salah satu tokoh, tapi diceritakan bahwa sang tokoh mampu membeli sebuah rumah mewah. Atau kita tidak mengerti, mengapa seorang tokoh mau mati-matian membela cintanya padahal banyak wanita atau pria lain yang mencintainya...

Atau, kalau pun informasi mengenai sisi-sisi kehidupan seorang tokoh dirasakan telah cukup, bagaimana kalau adegan ciuman atau adegan ranjang itu diganti dengan adegan yang lebih 'manis'? Kalau dalam film-film zaman dulu, adegan cinta-cintaan digambarkan dengan adegan cowok menyelipkan bunga di telinga ceweknya. Uuugh...norak...

Atau bagaimana kalau dibuat adegan yang agak norak tapi lebih sopan : si cowok mencium buku atau ikat rambut ceweknya yang tertinggal. Dengan catatan, cewek itu memang pacarnya, jadi si cowok tak tampak seperti cowok pemalu yang sakit jiwa.

Masih terlalu norak?

Baik... baik... Bagaimana kalau adegan manis tapi heroik yang terinspirasi dari gaya pacaran teman saya berikut ini : teman saya (cewek) asma-nya kumat, sementara obatnya habis. Pacarnya (cowok), tengah malam dan tanpa motor mau pun angkot, berlari lebih dari tiga km pulang-pergi untuk membeli obat di apotek 24 jam dengan uangnya sendiri agar pacarnya tidak menderita lagi. Kalau ada yang menyebut itu bukan cinta, berarti orang itu tidak punya hati!

Terserah kalau mau ngomong, usulan di atas masih agak norak dan berlebihan. Tapi ini kisah nyata dan saya lihat sendiri (soalnya waktu itu saya berusaha mencari pinjaman motor tapi ga dapet) bagaimana cintanya pacar teman saya itu. Tidak ada nafsu birahi, hanya cinta demi menolong orang yang kita cintai dan sayangi. Inilah yang acap kali dilupakan oleh para pembuat film yang terlalu 'bernafsu' membuat adegan 'romantis' tapi isinya cuma nafsu dan nafsu...

Read More..

MOST UNFORGETABLE MOVIES EVER (1)

Saya bukan 'orang film' dan tidak mengerti, film 'bagus' itu yang seperti apa. Bahkan, film pemenang Oscar dan sukses secara komersial seperti trilogi Lord of the Ring pun, bagi saya bukan film yang terlalu istimewa untuk dipuja-puji.
Pun Crouching Tiger Hidden Dragon (CTHD), menurut saya juga biasa saja. Soalnya saya penggemar To Liong To dalam versi apa pun, baik film bioskop, serial TV dan komiknya. Jadi, meskipun kabarnya CTHD mendapatkan empat Oscar, saya masih lebih menyukai serunya intrik di antara partai-partai besar seperti Kay Pang dan Shaolin daripada kisah Li Mu Bai dan orang-orang di sekelilingnya.
Sebenarnya, bagi saya, tidak ada istilah 'film bagus'. Yang ada hanya 'film tak terlupakan'. Yakni, film yang tidak membuat saya bosan dan rela menontonnya berkali-kali, tidak peduli film tersebut adalah pemenang penghargaan atau bukan. Cult movie pun belum tentu masuk dalam 'kategori' ini bagi saya, karena ini masalah 'hati' (cieee), bukan soal pengaruh film tersebut ke orang banyak atau tidak.
Ada beberapa film yang tak terlupakan bagi saya. Untuk film Indonesia, sedikitnya ada 3 judul film bioskop yang tidak membuat saya bosan berapa kalipun saya menontonnya. Alasannya bisa bermacam-macam, bisa karena cerita dan soundtrack-nya yang oke. Pokoknya, tak ada rumusan baku. 'Kan ini masalah hati...(sok romantis, roman manis hati iblis!) Ya ngga?


ADA APA DENGAN CINTA? (2002)
Berani taruhan, pasti banyak yang setuju dengan pilihan saya ini. Kalau tidak setuju, emang gue pikirin? Hehehe...

Film ini berkesan bukan karena ceritanya (kalau aspek yang ini sih, agak basi...), melainkan karena skenario, karakter Rangga yang inspiratif (bagi saya, tentunya) dan tata musik yang selaras dengan tema filmnya.
Saya mengenal film ini dengan jalan yang cukup unik : membaca skenario-nya terlebih dahulu, baru kemudian tertarik menontonnya. Soalnya, tadinya saya memandang sinis film remaja puitis ini karena tema ceritanya yang cintaaaa melulu (sesuai judulnya) yang membuat jenuh. Namun setelah membaca skenario yang ditulis oleh Jujur Prananto dibantu tim produksi yang oke, saya jadi penasaran. Akhirnya, ya begitulah, sampai saat ini saya tak bisa mengingat, sudah berapa kali film ini saya tonton.
Beberapa teman dan keluarga menertawai kegemaran saya terhadap film ini, tapi emang gue pikirin? Soalnya saya memang terinspirasi oleh Rangga yang pandai menulis puisi. Kalau tak pernah 'bertemu' dengan karakter yang mirip karakter 'pacar favorit' manga ini, apa jadinya saya? Barangkali hingga kini saya masih belum menemukan 'lentera jiwa' saya : hidup sebagai penulis...
Soal tata musiknya, ah you know-lah why... Masa' harus dijelaskan lagi?
JANJI JONI (2005)
Kalau banyak yang tidak setuju, saya tidak heran. Habis, film ini ceritanya memang aneh bin ajaib, masa' dalam waktu kurang dari 90 menit, Si Jontor eh Joni, bisa mengalami berbagai hal?
Anehnya, meski film ini ceritanya aneh (tapi juga unik, jarang-jarang mengangkat tema kehidupan seorang pengantar rol film) dan banyak dialog yang 'Hollywood banget' dan agak menggurui (tebak, di adegan mana saja?), saya kok tetap menyukainya? Bahkan, menontonnya di bioskop sampai 6 kali!
Hehehe... Joko Anwar saja sampai bengong waktu mendengar pengakuan saya. Kalau dipikir-pikir, kelihatannya memang seperti orang kurang kerjaan, tapi kata orang Makassar, "mo mi di apa? Hobi...?"
Habis, saya benar-benar kepincut dengan tata musik dan soundtrack-nya yang fuh, keren pisan... Jarang-jarang saya memaksakan diri khusus memiliki album soundtrack sebuah film, tapi untuk film yang satu ini, tak wajib punya!
Why?

Cause I've got Johnny in my head!!!
NAGABONAR (1987)
Sekuelnya memang kurang 'nancep di hati', tapi tidak demikian dengan prekuelnya. Saya memang agak terlambat mengenal film ini, baru pada dekade 90-an. Tapi tidak masalah, toh film bagus seperti ini tidak ada tanggal kadaluarsa-nya seperti isi parsel Lebaran.
Kalau film yang satu ini, alasan saya betah menontonnya berkali-kali hanya karena kekuatan cerita dan skenario-nya. Perkara bahwa akting para pemain-nya bagus-bagus, itu bukan perhatian saya karena saya memang kurang paham, akting yang bagus itu seperti apa. Bagi saya, perjalanan menuju 'pencerahan' seorang mantan copet dan jenderal gadungan menjadi seorang pejuang kemerdekaan sejati adalah kisah tak terlupakan yang hebatnya, disajikan dengan penuh humor. Ini menjadi inspirasi bagi siapa saja yang ingin membuat film 'bagus' tanpa harus berumit-rumit dengan dialog-dialog aneh yang membuat kening penonton--terutama yang 'malas mikir' seperti saya--berkerut-kerut karena bingung. Pak Asrul Sani almarhum memang hebat!
Bagaimana, coy? Itulah tiga film bioskop Indonesia tak terlupakan yang bisa saya sebut sebagai film-film bagus versi seorang Pasha Fathanah. Semuanya film 'ringan', tapi semuanya pernah mendapat penghargaan dalam berbagai festival film, lho. Jadi, 'ringan' bukan berarti 'dangkal', bukan? Setuju?

Read More..

Senin, 25 Agustus 2008

HOW FILM CHARACTERS SAVE MY LIFE (1)

Saya harus akui, saya nyaris tak punya idola. Maklumlah, saya bukan anak Jepang yang sejak kecil diarahkan untuk punya idola--idola yang 'nyata'--dalam kehidupannya. Walaupun kebanyakan orang menyebut ibu, ayah, kakak atau sahabat mereka sendiri--bahkan artis atau olahragawan sekalipun!--sebagai idola, sejak kecil saya sudah gamang dalam menentukan 'sang idola' yang (mudah-mudahan) bisa memengaruhi saya dan kehidupan saya, baik secara langsung maupun tidak langsung.

Pikir saya, punya idola percuma. Karena bila kita telanjur mengidolai seseorang, besok-besok, biasanya terjadi 'sesuatu' yang melunturkan 'ke-idola-an' idola itu sendiri. Bisa jadi, sang idola melakukan hal yang tercela di mata saya atau justru, tumbuh menjadi sangat 'besar' hingga menimbulkan 'kecemburuan' aneh dalam diri saya : mengapa ia menjadi sangat jauh di sana hingga saya tak bisa mencapainya lagi?

Jadi, cukuplah dikatakan bahwa saya memiliki 'orang-orang favorit' dalam berbagai bidang yang tak beralasan jika sampai saya cemburui. Misalnya, saya memilih Chow Yun Fat, Johhny Depp, Shah Rukh Khan (oh yes, I love this man!) Christopher Lambert dan mendiang Heath Ledger sebagai aktor-aktor luar negeri favorit. Untuk aktor dalam negeri, saya menyukai akting Nicholas Saputra dan Deddy Mizwar. 'Umum' sekali, tapi itulah yang sebenarnya. Sedangkan untuk aktris, saya suka Ria Irawan dan Nani Wijaya (kalau jadi nenek 'preman', beliau bermain bagus sekali).

Tapi... bukan mereka yang memengaruhi saya dan kehidupan saya. Saya justru lebih terpengaruh oleh sepak terjang sosok-sosok yang tak pernah ada. Sosok-sosok fiktif, yang hanya kita temui di layar film!

Ya, kalau Metro TV menayangkan acara berjudul (kira-kira saja, soalnya saya jarang menontonnya) How Science Fiction Saves My Life yang membahas bagaimana film-film fiksi ilmiah seperti trilogi Terminator dan Matrix memengaruhi kehidupan luar film, maka saya juga punya 'acara' sendiri : How Film Characters Save My Life.

Ya, 'menyelamatkan' hidup saya. Seperti dalam Janji Joni, yang menampilkan sekilas bagaimana seorang anak badung terinspirasi oleh film Bad Boys dan menjadi polisi, maka saya pun 'terselamatkan' oleh karakter-karakter rekaan ini. Apa yang mereka lakukan dan alami--dalam film, tentunya--telah mengilhami saya untuk 'berbuat' sesuatu. Mungkin merekalah 'idola' saya sesungguhnya, idola yang tak akan membuat saya merasa 'jauh' dengan mereka justru karena ada batas jelas di antara kami : batas antara alam fiksi dan alam non-fiksi eh nyata.


IKKI PHOENIX (Saint Seiya, 1986)
Kalau mau tertawa, silakan, sekaranglah saatnya. Masa bodoh, yang pasti saya tetap memasukkan nama yang satu ini ke dalam daftar. Apa boleh buat, karakter manga dan anime karya Masami Kurumada ini telanjur membuat saya terkagum-kagum. Karakternya yang 'ke-rangga-rangga-an' (atau Rangga yang 'ke-ikki-ikki-an'?) dalam arti keras, agak sombong dan penyendiri menginspirasi saya dalam mendesain karakter yang mirip dengannya. Malah, kadang saya merasa seperti seorang plagiator karena meng-copy hampir 60% desain karakternya!
Tapi, tentu saja tidak akan sampai meniru dalam arti sebenarnya. Toh dalam manga dan anime, lazim dijumpai karakter yang serupa tapi tak sama dengan Ikki seperti Shinichi Kudo dan karakter 'pacar favorit' dalam sejumlah manga romantis untuk pembaca cewek. Kalaupun karakter Ikki juga mirip dengan karakter dalam karya-karya sebelum Saint Seiya, kita anggap saja sebagai bagian dari lingkaran inspirasi yang akan menambah kaya nilai sebuah karya. Bagi saya, karakter dengan model klotokan seperti Ikki memberi warna tersendiri dan menjadi salah satu model favorit untuk karakter-karakter sidekick. Jadi, kalau mau menciptakan jagoan dengan segala sifat yang sebenarnya 'kurang pantas' disandang oleh seorang jagoan, pakailah 'rumus' a la Ikki.
Huah... heran juga, kok Kurumada bisa-bisanya lebih memilih BT X daripada meneruskan Saint Seiya, ya?

USAGI TSUKINO (Sailor Moon, 1992)
Jangan patah semangat hanya karena kamu tak pandai di sekolah dan hampir tak bisa melakukan apa pun dengan benar. Sebab, bisa jadi, ada kekuatan tersembunyi dalam dirimu yang akan membuatmu menjadi seorang Pretty Soldier! Duuuh, senangnya menjadi Usagi!
Walaupun saya kurang menyukai beberapa hal dari anime yang satu ini karena 'cewek banget', saya menjadikan anime ini sebagai pelipur lara setiap kali saya merasa lemah dan tak berdaya karena kerap kali menemui kegagalan demi kegagalan. Ada banyak pelajaran yang menarik yang saya tarik dari serial fenomenal ini. Selain pesan agar jangan merasa sangat bodoh karena bisa jadi kamu sebenarnya adalah seorang pahlawan bagi banyak orang, ada satu hal lagi yang tak kalah menarik : cewek pun bisa menjadi ksatria penolong kekasihnya, seperti dalam salah satu episode (lupa episode yang mana) di mana Usagi--yang kekuatannya telah hilang--berjuang menembus barikade tumbuhan raksasa berduri demi menyelamatkan Mamoru yang tubuh dan jiwanya ditawan oleh musuh besar Sailor Moon. Oh, romantisnya...

RANGGA (Ada Apa dengan Cinta?, 2002)
Nah... ini dia sosok fiktif yang menginspirasi saya untuk mulai menulis lagi. Cowok jutek tapi kesepian ini (ceritanya) bisa bikin puisi yang membuat hati cewek populer maca Cinta jadi penasaran. Sebenarnya saya tidak begitu bisa menulis puisi. Tapi entah mengapa, setelah melihat aksi Rangga menaklukkan hati Cinta hanya dengan puisi, saya jadi teringat pada cita-cita lama yang pernah saya lupakan : menulis sebagai pilihan hidup. Soo desu... karakter yang mirip karakter cowok-cowok manga dan anime (cool, penyendiri dan agak aneh) ini membuat saya yakin bahwa dengan menulis, kita bisa mendapatkan banyak hal positif : cewek (cinta), penghargaan dan... duit!
Oke, sampai di sini dulu. Kapan-kapan saya sambung lagi. Sebab, masih banyak karakter film yang akan saya bahas karena telah 'menyelamatkan' saya. Dengan kekuatan bulan, akan menghukummu eh, menghubungimu lagi!

Read More..

Sabtu, 16 Agustus 2008

ADEGAN SINETRON BODOH FAVORIT SAYA DAN USULAN UNTUK MENGGANTINYA MENJADI ADEGAN YANG LEBIH 'MASUK AKAL'

Maaf beribu maaf, jika tulisan ini hanya menambah panjang 'daftar' keburukan sinetron kita. Hanya, saya tidak sekadar menunjuk-nunjuk kebodohan insan persinetronan kita, tetapi juga berusaha membantu dan mengatakan : apa tidak sebaiknya begini saja supaya penonton tidak mencibir? Meski kebanyakan sinetron sekarang ditayangkan stripping, bukan berarti para pembuat sinetron bisa membodohi penonton dengan produksi yang isinya yah... berkelas 'daripada gak ada yang ditayangin, mendingan kaya gini aja deh'.
SI TUKANG NGINTIP DAN NGUPING
My most favorite silly scene is...the haunted people scene. Maksud saya, banyaaak sekali adegan dalam sinetron kita yang isinya orang-orang yang 'kurang kerjaan'. Misalnya, ada tokoh antagonis yang mau-maunya menghabiskan waktu, uang dan tenaga serta pikiran untuk mengikuti setiap gerak langkah orang yang ia benci seolah-olah dia sendiri tidak punya pekerjaan lain yang harus dilakukan. Kerjanya cuma menguntit, mengintip dari balik pohon (yang sebenarnya sama sekali tidak bisa menutupi tubuhnya) dan menguping pembicaraan 'musuh'. Celakanya lagi, dengan jarak terpaut cukup jauh, kok bisa-bisanya si penguntit mendengar semua pembicaraan musuhnya? Atau sebaliknya, jika jarak mereka cukup dekat, kok si penguntit tidak terlihat (padahal cuma menyembunyikan sebagian badannya di balik tembok) oleh yang dikuntit?
SARAN : adegan seperti itu dihilangkan saja karena tidak bermutu dan tidak mendidik (cieee!). Eh, ini benar. Kalaupun mau memata-matai, pakailah orang suruhan. Lebih bagus lagi pakai GPS, biar lebih canggih! Atau pakai metode penyelidikan a la Detective Conan: pakai perhitungan waktu dan pengecekan alibi, biar makin menarik dan kelihatan lebih 'cerdas'!


MAKAN BERSAMA YANG HEBOH
Adegan berikutnya adalah adegan makan pagi/siang/malam sekeluarga yang 'heboh'. Makan di meja makan dengan dandanan di rumah yang super menor dan hidangan yang cukup untuk menjamu tetangga sebelah beserta teman-temannya.
SARAN : walaupun adegan macam begini biasanya dimainkan tokoh-tokoh dari keluarga 'kaya', jangan norak-norak amat, ah. Biasa sajalah, tidak usah mengumbar kemewahan berlebihan. Masa' makan pakai lipstik dan blush-on tebal-tebal? Dandannya nanti saja, setelah makan selesai. Juga soal hidangan melimpah ruah tapi porsi yang diambil para tokohnya sedikit (biar dibilang perut priyayi!) seperti sedang diet. Makan dengan gaya formal khas aristokrat? Hehehe, Inul Daratista pun--sekalipun sudah jadi milyuner--lebih suka makan tempe bacem (biar ngga lemes, katanya) daripada direpotkan dengan makanan yang 'aneh-aneh'.
MENABRAK POHON TAPI MOBILNYA TETAP MULUS
Adegan bodoh favorit saya berikutnya adalah... adegan tabrak-tabrakan! Pernah menyaksikan adegan mobil menabrak pohon? Orang-orang dalam mobil berteriak dengan ekspresi yang lebih mirip teriakan pas nonton lomba 17 Agustusan, lalu kamera berputar seperti gasing yang sudah berputar setengah jam dan... Berikutnya yang kita lihat adalah pintu mobil terbuka lebar-lebar, para penumpangnya 'berserakan' dengan posisi menggantung di ambang pintu mobil atau telungkup di tanah. Ada dedaunan di atas mobil untuk menutupi bodi mobil yang masih mulus karena sejatinya, mobil tersebut tidak pernah menabrak apa pun. Jadi, mengapa pula orang-orang di dalamnya harus 'heboh'? SARAN : daripada memaksakan diri menyuguhkan adegan norak bin bodoh seperti itu, lebih baik adegan tersebut DIHILANGKAN. Untuk menginformasikan bahwa Si A dan Si B kecelakaan, lebih baik skip ke adegan di rumah sakit--sekalipun membosankan karena terlalu sering muncul--yang menggambarkan bahwa Si A dan Si B terluka parah atau tewas. Atau bisa juga lewat adegan pemberitahuan via telepon ke kerabat korban bahwa telah terjadi kecelakaan mobil. Tidak repot dan tidak akan ditertawakan penonton.
ANAK SEKOLAH YANG MENGGANGGU
Semua adegan yang menampilkan anak sekolah berdandan heboh, berambut gondrong dan kerjanya hanya menganggu teman sekolahnya yang lebih lemah (bullying). SARAN : seharusnya produser, sutradara dan penata kostum serta penulis skenario sinetron lebih sering main ke sekolah-sekolah untuk mengobservasi kenyataan di sekolah. Daripada menampilkan cewek berdandan menor dan hanya bisa mengganggu teman di sekolah, lebih baik mereka mengangkat hal lain seperti kemauan meraih prestasi di sekolah dan konflik yang umum timbul di sekolah seperti persaingan tidak sehat antar dua bintang basket atau contek-mencontek, hehehe. Tapi, ada cinta-cintaannya juga (asalkan tidak vulgar seperti komedi seks), biar tidak 'datar'...
BODI DITABRAK, CINTA BERTINDAK
Adegan tabrak-tabrakan yang melibatkan sepasang cowok dan cewek yang akhirnya saling jatuh cintrong. SARAN : waduh, apa tidak ada ide lain selain main tabrak-tabrakan seperti itu? Bagaimana kalau misalnya, cewek-cowok itu mulanya digambarkan bersaing (bukan saling benci) dengan sengit dalam berbagai bidang? Lalu, pada saat kritis, mereka 'terpaksa' saling membantu dan bekerja sama hingga akhirnya jatuh cinta. Atau, adegan pertemuan itu dibuat mirip dengan kisah lagu Mak Comblang-nya Potret. Kan seru, tuh? Pokoknya, segala cara ditempuh agar adegan tabrak-tabrakan itu tidak terwujud. Eneg, tahu?!
HANTU MEJENG
Adegan bodoh lainnya adalah...hantu mejeng. Baik sinetron maupun film bioskop sebenarnya sama : suka menampilkan hantu gondrong mejeng di ujung lorong atau di depan pintu. Diam di situ sampai pemeran yang melihatnya teriak-teriak dan kabur ke dalam rumah. Saya baru tahu, hantu ternyata banci tampil juga ya? SARAN : daripada mengandalkan hantu mejeng yang cuma mengagetkan tapi tidak menakutkan, lebih baik membangun suasana mencekam dan menakutkan melalui skenario dan eksekusi yang matang dan tidak mengada-ada. Hantu berbedak tebal sudah basi, cari sosok hantu lain yang kira-kira membawa 'angin segar'. Untuk yang satu ini, maaf, saya tidak ada ide bagaimana sebaiknya sosok hantu itu ditampilkan...

Demikianlah, ocehan saya kali ini, seorang pembosan yang bosan melihat adegan-adegan klise (dan bodoh) dalam sinetron. Saran saya mau diikuti atau tidak, terserah...

Yukkk...


Read More..

Sabtu, 26 Juli 2008

SEANDAINYA KITA BISA MEMBUAT FILM SEKELAS THE DARK KNIGHT

Catatan : Tulisan ini bukan resensi film, hanya catatan saya setelah menonton film bioskop terbaik tahun ini. Soalnya, saya tidak bisa meresensi film (bagaimana mau meresensi kalau inti dari misalnya, "3 Hari untuk Selamanya" saja saya tidak mengerti?) dan memang tidak berminat.


Dua hari yang lalu, setelah berjuang menembus kemacetan Jakarta di atas Kopaja 57 (hebat 'kan, ke mana-mana saya selalu naik 'mobil besar'), akhirnya saya tiba juga di Blok M Plaza. Tujuannya hanya satu : menonton The Dark Knight (TDK).


Sebelumnya, saya memang tidak terlalu antusias menyambut 'kedatangan' Manusia Kelelawar ini mengingat tiga tahun sebelumnya sempat dibuat agak bete menonton Batman Begins yang menurut saya ceritanya aduuuh, biasa... Saya pikir, film superhero dengan cerita paling keren adalah Spiderman 2. Tentu saja sebelum saya menonton TDK ini.

Tapi setelah mengingat bahwa ini adalah film terakhir mendiang aktor favorit saya, Heath Ledger, akhirnya saya mengumpulkan tekad untuk menyaksikan film ini. Apalagi, menurut sebuah resensi (sebenarnya saya tidak begitu percaya pada apa kata kritikus film, tapi penyajian resensi TDK yang menarik mulai memengaruhi saya) yang saya simak, film ini dipastikan penuh kejutan demi kejutan, maka saya pun tergerak untuk menontonnya.

Dan ternyata...

TDK tidak seperti yang saya harapkan. Maksudnya, MELEBIHI APA YANG SAYA HARAPKAN!

Hiks... dengan sangat malu, saya harus mengakui bahwa saya telanjur menganggap enteng film sekueruen (buset, sampai segitunya memuji!) ini. Bukan adegan truk terpental atau kerennya Batpod (hmm, apa betul motor dengan bentuk seaneh itu bisa ngebut?) yang membuat saya jadi ingin menontonnya lagi. Yang bikin saya takjub adalah JALAN CERITANYA YANG TIDAK BISA DITEBAK SAMPAI AKHIR FILM.


Saya gemas menyaksikan keegoisan para penduduk Gotham yang berlaku tidak adil pada Batman karena ketakutan menghadapi teror Joker. Well, seperti itulah manusia bila hidupnya terancam. Habis manis sepah dibuang...



Belum lagi adegan thriller favorit saya yang justru tidak menampilkan campur tangan Batman : dua ferry berisi penumpang (yang satu berisi narapidana dan yang satunya lagi berisi rakyat 'tak berdosa') yang masing-masing dipasangi bom oleh Joker. Penumpang masing-masing ferry diberi pemicu bom dari ferry yang satunya. Para penumpang masing-masing ferry harus memilih : meledakkan ferry yang lain, atau tidak meledakkan tapi dengan risiko justru diledakkan oleh para penumpang ferry yang satunya. Di adegan inilah kita bisa melihat tabiat asli kebanyakan manusia yang mementingkan diri sendiri dan merasa dirinya paling benar. Ternyata, orang-orang yang (katanya) jahat pun, masih punya hati dan merasa lega bila tidak perlu menjahati orang lain. Seorang pahlawan tidak selamanya dibutuhkan selama setiap orang masih menjaga hatinya (Aa' Gym banget...) Saya juga terkesan dengan karakter narapidana cool yang mengambil tindakan 'heroik' meskipun hal itu mengancam jiwanya. Pemerannya Tommy 'Tiny' Lister, semoga karirnya di dunia akting semakin cemerlang.

Akhir film ini membuat perasaan saya campur aduk (malah, saya sempat hampir nangis, hehehe) seperti adonan kue. Kesal pada Joker, sedih pada Two Face dan kasihan pada Batman. Uuuugh, mengapa setelah segala kebaikan kita tebar, yang didapatkan hanya kesedihan?
Can you avenge evil and not become it?
Itu tagline favorit saya dalam TDK. Benar juga ya, apakah kita bisa membasmi kejahatan tanpa 'mengotori' tangan sendiri? Kalau heroisme kita tidak dihayati benar-benar, salah-salah kita bisa menjadi bagian dari kejahatan itu sendiri. Satu insiden menyakitkan bukan tidak mungkin mengubah kita 180 derajat. Kalau sudah begini, pilihan menjadi seorang pahlawan (atau lebih dari itu) harus diambil oleh orang-orang yang benar-benar konsisten hingga mampu mengorbankan segalanya, termasuk kehidupannya sendiri. Jadi, untuk Batman, bisa dikatakan, out of the darkness, comes the Knight. Tagline ini sumpah, memang sangat menggambarkan sosok Batman dan isi film ini.
Berdasarkan pengertian saya mengenai Teknik Bercerita 9 Babak (9 Act Structure) yang dipaparkan Sony Set (http://tvlab.blogspot.com/) dalam buku Jadilah Penulis Skenario Profesional, saya bisa mengatakan bahwa TDK sukses mengembangkan lebih jauh teknik bercerita yang banyak diaplikasikan dalam film box office seperti The Fugitive. Dalam TDK, Batman menjadi 'antihero' karena 'kelemahan'-nya menghadapi 'teror' penduduk Gotham yang sebelumnya menganggapnya sebagai pahlawan. Ia tidak diburu oleh agen-agen pemerintah seperti dalam Enemy of the State, tetapi diburu oleh perasaan bersalah karena 'membiarkan' penduduk Gotham diteror oleh Joker. Padahal, sesungguhnya, Batman-lah sang ksatria yang senantiasa melindungi Gotham City.

Sekali lagi, saya tahu, adegan aksi dalam film ini memang bagus dan seru, tetapi bukan itu yang menakjubkan bagi saya. Bagaimana para penulis cerita membangun cerita yang kuat dan penuh kejutan (ditambah akting cihuy Heath Ledger, tentunya!) adalah sisi yang paling saya nikmati dan kagumi dari TDK.



Menonton film ini membuat saya jadi berandai-andai : seandainya pembuat film kita bisa membuat film thriller sekelas TDK. Tidak usah pakai adegan aksi (nanti malah jelek, karena bujetnya minim dan lain-lain hal), yang penting ceritanya... Juga, membuat saya kagum sekaligus iri : kok saya belum mampu membuat cerita sekeren TDK? Hu-uh, sebal!

Pada akhirnya, saya harus mengakui, bahwa TDK adalah film bioskop terbaik sepanjang tahun ini. Biasanya saya juga malas berpromosi mengenai film yang baru saya tonton. Tapi untuk TDK, apa boleh buat, saya harus bilang, RUGI KALO GA' NONTON!


Read More..