Selasa, 16 Desember 2008

DRUPADI YANG (TETAP) MENYEBALKAN

Akhirnya saya bisa juga menonton salah satu film yang saya tunggu-tunggu tahun ini, pada hari terakhir Jiffest 2008. Dari judul filmnya saja, sebenarnya saya kurang suka karena merujuk pada salah seorang tokoh dalam kisah Mahabrata yang--bagi saya--menyebalkan : Drupadi.


Drupadi menyebalkan? Bukankah dia tokoh wanita yang sangat diagung-agungkan dalam kisah Mahabrata versi Jawa?

Hmmm... Iya, sih. Tapi kalau tidak suka, mau apa lagi? Sejak mengenal kisah ini, baik versi asli--India--mau pun versi Jawa, saya kok kurang respek pada tiga tokoh ini : Yudhistira (karena dengan gobloknya mau saja dikerjai d meja judi), Drupadi (karena ikut memanfaatkan perang maha dahsyat untuk membalaskan dendamnya tanpa mengotori tangan sendiri) dan... Arjuna (karena selain menjadi ksatria paling ganteng, dia juga menjadi ksatria paling ganjen sejagad, ksatria kok genit!).

Sebaliknya, saya memfavoritkan Arimbi (tubuhnya yang 'bohay' mengingatkan saya pada seseorang yang istimewa), Bima (karena dia berangasan dan macho tapi juga bisa masak!) dan Karna (sosok baik dan anti persekongkolan yang menjadi saingan Arjuna).

Karna?

Hehehe, lebih aneh lagi kalau saya menyebut siapa tokoh yang paling tidak saya sukai dalam kisah Ramayana. Dia adalah Wibisana, si pengkhianat Rahwana. Meskipun berpihak pada--katanya--kebenaran yang diwakili oleh Rama, orang yang meninggalkan keluarganya tetap menjadi sosok yang minus di mata saya.

Eh, kok jadi membahas Wibisana, sih? 'Kan yang ditonton film tentang Drupadi, jadi yang dibahas ya cewek yang satu itu, dong! Hehehe, tadinya, saya berharap, setelah menonton film yang katanya merupakan interpretasi baru kisah Mahabrata ini, saya jadi lebih memahami Drupadi. Pada akhirnya, saya jadi memiliki pandangan yang baru tentang Drupadi : bahwa dia bukan wanita yang menyebalkan lagi.

Nyatanya, setelah tiga perempat jam duduk di kursi teater, saya tetap saja merasa bahwa Drupadi tetaplah wanita yang hanya bisa berteriak menyalahkan orang lain atas kemalangan yang menimpanya. Dan tentu saja, tetap menyebalkan...



Menonton film pendek karya Riri Riza (jujur nih, saya menonton film ini selain karena tertarik pada para pemain pria yang mengenakan kostum yang ehm, juga karena saya merasa punya ikatan emosional saja dengan nenek dan sepupu sang sutradara hehehe) ini adalah pengalaman yang membosankan. Berlambat-lambat di arena permainan dadu, padahal menurut saya tidak penting-penting amat. Okelah, adegan Drupadi hendak ditelanjangi oleh Kurawa mendapat porsi yang lumayan. Tapi sayangnya... Drupadi tetap saja digambarkan sebagai perempuan cengeng!

Karena--katanya--film ini dibuat berdasarkan sudut pandang Drupadi dan menurut Dian Sastro--produser merangkap pemerannya--adalah wanita yang menolak dirinya dijadikan bahan taruhan, saya mengharapkan sesuatu yang lebih dramatis daripada adegan kain Drupadi yang tak ada habisnya saat hendak ditelanjangi. Tapi yang disuguhkan malah sosok Drupadi yang lemah, yang hanya bisa menangis lalu berteriak menyalahkan para suaminya dan para sesepuh Hastinapurna--semuanya pria!--yang diam saja melihat penghinaan tersebut. Kalau Drupadi memang menolak dirinya dijadikan bahan taruhan dan memanusiakan dirinya, kenapa tidak ditampilkan saja adegan Drupadi melawan dengan pedang terhunus untuk membela kehormatannya, tanpa bergantung pada orang lain? Syukurlah Krishna menolongnya. Tapi tetap saja, Drupadi versi baru ini kelihatan sama dengan Drupadi yang saya tahu...

Lalu ada Karna, laki-laki yang mendendam pada Drupadi karena ditolak ikut sayembara memanah di awal film. Meskipun saya ngefans pada tokoh yang satu ini, saya kok merasa kemunculannya mubazir? Apalagi, pemerannya (Donny Alamsyah) kurang 'montok' tubuhnya hehehe. Soalnya, faedah keberadaan Karna dalam adegan Drupadi ditelanjangi tidak jelas. Dia cuma berdiri, memandang puas pada Drupadi dan Arjuna yang tak berdaya.... Huhuhu Karna, kok kamu digambarkan seperti itu, sih?

Tapi... suda
hlah, saya cukup menikmati pemandangan 'indah' dalam film ini (meskipun masih mikir, nasib penari berkalung permata yang diambil Kurawa bagaimana, ya?). Yap, apalagi kalau bukan kostum yang dikenakan oleh para pemain film bertabur bintang ini plus tentu saja, para pemainnya sendiri hehehe. Dian yang cantik (duh, beruntung sekali anak pengusaha yang bisa menjadi pacarnya itu!), Nicholas Saputra yang montok (sayang, Arjuna malah jadi mirip Rangga di tangannya, kurang genit!), Dwi Sasono yang ehm (setelah melihat kumisnya, saya pikir dia cukup pantas menjadi Yudhistira) dan Ario Bayu yang bulu dadanya paling 'rimbun' (mungkin inilah alasan dia terpilih memerani Bima), ow... itu semua menarik untuk disimak tanpa mengedipkan mata hehehe. Untuk kalian berempat, saya.... Ah, tidak jadi.... Malu...

Di luar itu, Butet Kertarejasa, tampil menonjol dan berhasil bikin sebal minta ampun berkat aktingnya sebagai Sangkuni. Untuk para pemeran Kurawa... yah, saya tahu, Kurawa digambarkan berwajah 'kurang beruntung'. Tapi, bukan berarti adik-adik Suyudana bisa digambarkan cungkring mirip personil The Changcuters 'kan?

Pada akhirnya, saya masih juga tidak mengerti, mengapa Drupadi menginginkan darah pentolan Kurawa untuk keramas. Apakah karena adegan Drupadi ditelanjangi tetap saja menampilkan Drupadi sebagai sosok yang lemah? Kelihatannya begitu. Drupadi tetap saja seorang yang (dulunya) teraniaya namun menganggap orang lain--baik langsung mau pun tidak--harus bertanggung jawab atas apa yang menimpanya. Padahal, kalau memang benar dia mandiri, bukankah sudah sewajarnya jika dia tidak terlalu menggantungkan nasib pada orang lain? Bayangkan, berapa banyak nyawa yang melayang dalam perang maha dahsyat yang sejatinya hanya demi membela kepentingan segelintir orang, termasuk Drupadi? Kok jadi mirip penyerbuan ke Irak ya?

Tapi... sudahlah. Memang, penonton cuma bisa protes, tidak tahu susahnya membuat film. Ya seperti saya ini.

Film Drupadi?

Hmmm... Membingungkan? Menyebalkan? Aneh?

Masa bodoh, yang penting bisa menikmati 'pemandangan indah' di dalamnya!


Tidak ada komentar: