Catatan : Ini bukan review film. Cuma curhatan seorang Pasha setelah menonton dua film berturut-turut di hari dan bioskop yang sama...
Jumat tanggal 5 Desember 2008, untuk pertama kalinya saya menginjakkan kaki di FX, sebuah gedung kapital di samping Gelora Bung Karno. Saya memang tidak begitu suka mendatangi tempat seperti itu karena hanya akan membuat sakit hati melihat harga-harga yang ditawarkan di sana. Sebagai makhluk 'berbau' Kopaja atau Mayasari Bhakti (dan bukan bau Carolina Herrera atau berkulit kinclong ala Biotherm), saya lebih banyak menahan lapar (mata dan perut) jika harus memasuki tempat-tempat seperti FX maupun Plaza Indonesia...
Tapi, demi kecintaan pada film, minimal sebagai penonton, dengan menumpangi busway, akhirnya saya sampai juga di FX dan langsung menuju lantai atas, menuju bioskop. Ada urusan soalnya, urusan menonton salah satu film yang diputar di Jiffest 2008. Judulnya simpel : DUNYA & DESIE, film remaja berbahasa Belanda dan Arab yang disutradarai oleh Dana Nechustan.
Alasan membayar 20 ribu demi film ini juga simpel : karena berdasarkan sinopsis yang saya baca di buku program Jiffest 2008, cerita dalam film ini cukup simpel dan saya pikir tidak akan bikin kepala sakit seperti waktu menonton--katakanlah--film-film Garin Nugroho. Hehehe.
Tapi saya datang terlalu cepat. Film tayang pukul 16.30, sedangkan saat itu baru pukul 13.00. Masih bisa menonton satu film lagi sih. Saya pikir menonton satu dari dua film Indonesia yang tayang siang itu bisa membantu untuk membunuh waktu. Antara LOVE dan IN THE NAME OF LOVE, saya pikir saya lebih suka yang pertama meskipun belum pernah mendengar nama sutradaranya. Film yang kedua... ah, sutradaranya membuat saya 'trauma' menonton film-film karyanya pasca MENDADAK DANGDUT yang berisi gambar-gambar yang 'goyang-goyang' seperti goyangnya Titi Kamal. Jadi... LOVE saja, ah...
Namun pada satu saat, pandangan saya tertumpu pada poster film Hollywood yang menampilkan sepsang remaja nan rupawan yang membuat air liur saya hampir menetes seperti vampir melihat kambing eh darah segar manusia. Setahu saya, film itu, TWILIGHT, adalah film yang cukup ditunggu oleh penggemar novelnya. Mungkin saja ceritanya memang bagus. Namun yang pasti, saya lebih tertarik menikmati 'pemandangan indah' dalam film itu : dua pemeran utama yang sosoknya membuat saya sirik setengah mati. Hehehe.
Jadilah, saya mengeluarkan ekstra 15 ribu rupiah demi memuaskan nafsu eh hasrat melihat pemandangan yang 'menyegarkan' di layar lebar. Padahal, untuk pulang ke Depok, saya harus mengeluarkan biaya yang lumayan besar. Mudah-mudahan apa yang saya tonton ini sepadan dengan rasa lapar saya karena terpaksa tidak membeli cemilan teman menonton. Wuh!
Dan... memang sepadan. Walaupun TWILIGHT cukup muram, saya tersenyum-senyum menyaksikan humor-humor yang muncul lewat tokoh-tokoh 'penggembira' seperti Mike (Michael Welch) dan Eric (Justin Chon). Jasper (Jackson Rathbone) juga sempat mengundang tawa saat diperkenalkan pada Bella (Kristen Stewart) oleh Edward (Robert Pattinson) di rumah keluarga Cullen. Bahkan saat Alice menjilat tangannya yang berlumuran darah Bella di studio balet, di saat saudara-saudaranya berusaha mengalahkan James (Cam Gigandet) si vampir jahat, saya juga tertawa. Yeah, namanya juga film remaja, ya harus ada lucu-lucunya dong.
Oke, TWILIGHT punya cerita yang klasik, cinta 'terlarang' yang melibatkan Bella, seorang manusia berparas manis, dengan Edward Cullen, seorang vampir keren yang sulit dipercaya telah berusia 107 tahun (awet muda!). Bagaimana Edward menahan nafsunya untuk menggigit dan mencicipi darah Bella, oke, itu menarik. Saya suka adegan-adegan saat Edward menatap Bella--yang kata Mike--seperti hendak memakan Bella. Saya juga suka adegan 'panas' (yang sebenarnya tidak panas-panas amat, sih) di kamar Bella. Hehehe. Tapi yang paling mengasyikkan tentu saja melihat Edward menggendong Bella ke puncak pohon tinggi. Huf, pasti seru kalau manusia biasa memiliki kecepatan, kekuatan dan kemampuan membaca pikiran seperti yang Edward miliki. Dan bagaimana Edward--dan keluarganya--berjuang menyelamatkan Bella dari kejaran James, mungkin akan membuat cewek-cewek berkhayal, seandainya kekasih mereka memiliki cinta sebesar cinta Edward pada Bella...
Tapi dasar Hollywood. Supaya seru, dibuatlah Bella disiksa terlebih dahulu oleh James di studio balet sebelum Edward dan keluarganya datang menolong. Mirip film robot-robotan Jepang, James dikeroyok dan dibakar. 'Perang' antara geng James dengan Edward sekeluarga hanya berlangsung mungkin hanya dalam 30 menit terakhir dalam film. Semuanya sudah mencakup adegan pertemuan keluarga Cullen plus Bella dengan trio vampir pengisap darah manusia, kejar-kejaran di antara mereka dan perang. Simpel... karena sekali lagi, ini film remaja!
Yang simpel-simpel itu juga saya saksikan lewat film berikutnya, DUNYA & DESIE. Meskipun pihak Jiffest membuat kesalahan dalam menyusun sinopsis film dalam buku program, setelah menonton saya cukup puas dan tak terganggu. Ceritanya nih, tentang dua sahabat yang 'mengikuti jalannya' sendiri.
Yah, begitulah kira-kira. Dunya (Maryam Hassouni) melarikan diri dari perjodohan dengan sepupunya yang culun karena ngambek pada ibunya dan Desie (Eva van de Wijdeven)--yang juga ngambek pada ibunya--ingin memastikan bahwa ayahnya menginginkan dirinyanya meskipun mereka belum pernah bertemu. Bermacam peristiwa mereka alami saat bertualang mencari ayah Desie di Maroko, negara asal Dunya. Mulai dari dicopet dua cowok yang sok sayang kucing, didenda oleh polisi hingga menginap di penginapan kumuh.
Pada akhirnya, petualangan mereka membawa Desie bertemu dengan ayahnya dan Dunya menemukan kampung halamannya. Saat mereka kembali pada keluarga masing-masing, mereka menyadari bahwa sesungguhnya mereka dicintai oleh keluarga yang mereka tinggalkan. Filmpun diakhiri dengan pesta di pantai yang hangat penuh kekeluargaan. Simpel....
Nah, yang simpel-simpel itulah yang saya suka. Sederhana, tidak ribet, tidak aneh-aneh, ringan tapi tetap memuaskan hati.
Tapi... jelas sekali, TWILIGHT hanya untuk menghibur. Sementara DUNYA & DESIE dengan manis menampilkan persahabatan dua gadis berbeda bangsa, budaya dan agama yang berhasil menyelaraskan perbedaan di antara mereka.
Meskipun sama-sama merupakan film adaptasi, TWILIGHT diadaptasi dari novel berjudul sama karya Stephanie Meyer sedangkan DUNYA & DESIE diangkat dari serial berjudul sama karya Dana Dechustan, kepuasan yang saya rasakan berbeda.
Kalau menonton TWILIGHT, ya... semata untuk mencari hiburan yang berbeda. Maksudnya, terhibur karena puas memelototi cewek imut dan cowok ganteng tapi agak mengerikakan hehehe. Juga, tentu saja merasakan ketegangan yang lumayan-lah. Tapi, saya juga suka tuh tampangnya Jackson Rathbone (Jasper). Apalagi pas dia berusaha menahan diri sampai tegang banget karena takut melukai Bella.
Kalau DUNYA & DESIE, temanya agak berat. Tapi karena dikemas dengan ringan, saya asyik-asyik saja menonton sepak terjang mereka. Maryam Hassouni, sebenarnya tampangnya lebih menarik hati saya daripada Kristen Stewart. Untuk Eva van de Wijdeven, I don't like blondie... Terlepas dari fisik mereka, akting mereka oke. Tapi yang paling oke ya cerita filmnya yang berakhir dengan manis. Benar-benar, baik TWILIGHT maupun DUNYA & DESIE memahami selera penonton yang ga suka mikir seperti saya hehehe.
Akhir kata, setelah 'meracau' panjang lebar, saya hanya bisa bilang : seandainya film remaja di Indonesia dapat dibuat sebaik dan sematang ini.... Ihiks!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar