Kamis, 20 Agustus 2009

MERAH PUTIH : NASIONALISME YANG 'ASING'

Sebenarnya, saya sudah nonton film ini pada hari pertama pemutarannya, tanggal 13 Agustus lalu di Blok M. Tidak seperti saat menonton film MERANTAU seminggu sebelumnya, saya keluar dari teater 2 Studio 21 Blok M Plaza dengan perasaan yang biasa-biasa saja. Padahal, film yang turut dikerjakan oleh sineas Hollywood tersebut seharusnya mampu menggugah saya. Tapi, saya kok merasa 'hambar' seperti makan sayur asem tapi garamnya kurang jadi asemnya ga dapet....



Dari awal feeling saya memang sudah kurang enak. Seperti ada yang berbisik, "sudah, nonton GI JOE saja. Ngapain nonton film perang Indonesia?" Tapi dasar saya tidak mau mengikuti kata hati, saya tetap saja memilih 'nasionalisme' daripada mendapatkan hiburan yang sepadan dengan harga tiket bioskop. Dan hasilnya, saya agak kecewa....

Soalnya, saya paling 'alergi' dengan dialog-dialog yang Hollywood banget seperti "Merindukan aku?" yang diucapkan Dayan setelah menolong Amir dan istrinya dari serangan seorang tentara Belanda. Tapi yah, namanya juga yang nulis skenario adalah bapak dan anak dari Hollywood, jadinya ya sebuah film yang penuh dengan dialog-dialog yang juga bisa kita temukan dalam film-film Hollywood macam Indiana Jones.


Hal lain yang mengganggu saya adalah 'kebodohan' Kapten Taufik, atasan kuartet Amir, Dayan, Thomas dan Marius, saat Belanda menyerang acara pesta dansa para lulusan Sekolah Tentara Rakjat (memangnya ada pesta dansa pada masa genting seperti itu?), pada awal film. Masa' Letnan Amir yang baru jadi tentara saja lebih tahu bahwa menyerang balik dalam keadaan terjepit adalah sebuah strategi perang yang salah? Padahal, katanya Kapten Taufik tuh adalah tentara yang hebat dan berpengalaman.... Hanya karena nasionalisme, Kapten Taufik nekad menerjang peluru Belanda yang berakibat tewasnya sejumlah tentara Indonesia. Gimana, sih?

Tapi, terlepas dari kekecewaan saya soal film yang katanya berbiaya 60 milyar (sudah termasuk biaya produksi sekuel kedua dan ketiganya) ini, saya memang merasakan ada yang berbeda daripada film perang buatan 'murni' Indonesia. Pada adegan penyerangan Belanda terhadap pesta dansa, efek asap yang membumbung memang berbeda dengan efek yang ditampilkan dalam film-film perang Indonesia sebelumnya. Mirip banget dengan yang kita lihat di TV pas berita perang. So real.

Oh ya, hampir lupa nih, menuliskan basic story film berdurasi 2 jam-an ini. Intinya, ada lima anak muda Indonesia dengan latar belakang dan motif berbeda-beda, bergabung untuk menjadi calon perwira. Namun, dalam perjalanannya, terjadi benturan di antara mereka yang menimbulkan konflik-konflik 'kecil'. Padahal, di luar sana, Belanda sedang memburu para pejuang Indonesia....

Secara keseluruhan, film ini hanya kurang greget. Tidak buruk, cukup bagus-lah. Tapi ya itu tadi, saya jengah dengan dialog yang terlalu Hollywood, sementara tidak ada hal lain dari film ini yang bisa menarik hati saya. Akhir kata, Merdeka! Allaahu Akbar!

Gambar :
kompas entertainment

3 komentar:

dav mengatakan...

saya juga sependapat.
ada dialog ketika istri amir menjahitkan baju amir. trus menyebut suaminya dengan kata ganti" kamu" kayaknya ga indonesia banget......Kaku tingkat tinggi.kurang luwes dan menuju" ANEH"

PNMF mengatakan...

Tapi, setidaknya, film ini hanya kurang greget. Makasih buat komentarnya.

Anonim mengatakan...

saya msh bs menerima film ini hanya sampai pas sebelum scene panggung hiburan dansa sekolah militer, walaupun scene di barak juga cukup bikin saya jengah.

tapi dansa dansi para tentara dg istri atau wanita mereka? Oh Tuhan, ini indonesia bukan amerika. Knp ga ntn wayang aja?

lagipula cukup byk one-liner di film tsb dan endingnya kurang pas. buat saya, sekuel kedua dan ketiganya udah bs ketebak akan jd spt apa.

oia satu lg, apa pula itu ledakan truk ga penting di akhir film? bikin berisik aja.