Rabu, 09 Juli 2008

BIOSKOP ALTERNATIF 2

PERINGATAN SEBELUM MEMBACA TULISAN INI : HANYA UNTUK PENGGEMAR FILM YANG MALAS "MIKIR" SEPERTI PENGELOLA BLOG INI. PENULIS BUTUH KEBERANIAN BESAR UNTUK MENULISKAN PEMIKIRAN YANG HANYA AKAN MEMBAWA AIB SEPERTI INI. SEPERTI APA AIB-NYA, SILAKAN BACA SAMPAI SELESAI!

Yap, balik lagi!

Setelah tempo hari berceloteh tentang bioskop yang sangat peduli pada isi kantong pengunjungnya, kini saya akan berceloteh mengenai bioskop alternatif yang sangat peduli pada... isi kepala pengunjungnya, terutama bagi mereka yang tak terbiasa dengan film-film "art" atau "berat". Maksudnya, film-film bagus tapi kurang menghibur meskipun ada juga yang komunikatif.


Inilah ikhwal yang melatari penulisan tulisan ini :
Beberapa bulan lalu, untuk pertama kalinya saya mengunjungi JIFFEST (sebelumnya saya menetap di kota kecil yang tidak ada bioskopnya, kacian deh!), sesuai cita-cita lama yang terpendam bertahun-tahun. Hiks...

Dari empat film yang saya tonton, yakni KALA, SUELY IN THE SKY (Brazil), 3 HARI UNTUK SELAMANYA dan THE PHOTOGRAPH (dua film terakhir ini sudah saya tonton di bioskop beberapa bulan sebelumnya, tapi karena di JIFFEST gratisan, ya saya nonton lagi), hanya film terakhir yang memuaskan hati. Soalnya, hanya film ini yang bisa saya "baca", maunya ngomongin apa. Sementara terhadap tiga film lainnya, saya keluar dari teater di Blitz GI dengan bertanya-tanya, tiga film itu maunya apa sih?





Nonton KALA, saya dibuat bingung, kenapa harus mencari-cari harta karun segala? Kenapa juga FAHRANI harus membunuh setiap orang kecuali FAHRI ALBAR dan polisi gay (bukannya diskriminatif, tapi saya lupa nama pemerannya...) yang mengetahui posisi harta karun tersebut? Lalu untuk apa ada makhluk-yang-entah-apa-namanya-itu kecuali untuk menyebar teror?




Nonton SUELY... yang sebenarnya lebih "ringan", saya jadi bete. Sejak awal diceritakan bahwa Suely ingin pergi seorang diri dari kotanya. Karena itu, dia berusaha mencari uang dengan segala cara untuk ongkos bis. Ending-nya ya begitu itu, tidak ada kejutan yang bisa menghilangkan rasa bete saya. Kalau sejak awal hingga akhir sudah diketahui bahwa Suely akan pergi jauh, mengapa film-nya harus berpanjang-panjang segala? Intinya hanya perjuangan Suely mengumpulkan uang atau bagaimana?

Nonton 3 HARI...(ini film "art" atau bukan?) saya juga masih lemot meskipun sudah dua kali nonton. Saya masih tidak mengerti, Ambar (ADINIA WIRASTI) bertengkar dengan Yusuf (NICHOLAS SAPUTRA) gara-gara TARZAN (kalau yang ini, saya lupa nama perannya), ngebut, lalu menangis ingat ibunya hanya gara-gara Ambar melihat kecelakaan maut? Apakah anak manja memang begitu, ya? Sok tapi cengeng? Lalu adegan Yusuf memelototi Ambar yang menari-nari dengan latar gelap dan seberkas cahaya menyorot dari belakang, maksudnya apa? Nafsu? Eh, ada lagi. Kok bisa-bisanya Yusuf kepincut sama penari jalanan padahal masih ada Ambar yang (maaf) belum "disentuh" sampai di Yogya? Bingung, nih! Tolong dijelaskan dong, Kak Riri!


Nah... berbekal pengalaman pahit itu, bertambah lagi cita-cita aneh dari seseorang yang lemot seperti saya. Usul : bagaimana kalau dibuat bioskop yang membantu penonton yang tidak terbiasa menikmati film-film "art" alias "berat" seperti saya ini?

Cara kerjanya begini. Film-film "art" yang akan diputar, ditayangkan dalam dua versi. Versi pertama ditujukan untuk pencinta film "art" yang otaknya sudah pasti lebih encer. Sedangkan versi kedua (yang diputar di jam berbeda, tentunya), disisipi dengan gambar sutradara dan atau penulis ceritanya. Bukan asal gambar, melainkan gambar mereka sedang menjelaskan maksud dari adegan yang baru saja berlangsung. Jadi, sekiranya ada adegan yang "berat", pembuat filmnya bisa membantu penonton menjelaskan inti adegan tersebut.

Kalau menonton tampang sutradara tidak terlalu mengasyikkan, bagaimana kalau dibuatkan semacam teks yang menjelaskan inti dari adegan yang baru saja berlangsung. Teks-nya bisa muncul di antara adegan, atau bahkan lewat sekelebatan kayak newsticker di bagian bawah layar agar tak mengganggu kenyamanan menonton. Pokoknya, segala cara untuk membuat penonton memahami film tersebut. Jadi, setelah keluar dari teater, semoga tak ada lagi penonton yang bersungut-sungut seperti waktu teman-teman saya menonton BANYU BIRU beberapa tahun silam. Bagaimana, coy?
Usul konyol?

Bukan. Lebih tepat disebut usul GILA. Walaupun bioskop seperti ini kelak terwujud, bisa dipastikan tak akan ada penonton yang mau mengunjunginya, termasuk saya sekalipun. Alasannya bisa beragam, tapi alasan saya cuma satu : saya tidak mau bego-nya ketahuan!

Tidak ada komentar: