Siang itu, Kamis 25 Juni 2009, hari di mana Michael Jackson wafat (ihiks!), saya dan Nico bertandang (ceile.... bertandang, kaya' Raja Melayu saja :D) ke bioskop 21 di Detos, Margonda, Depok. Maksudnya jelas, menonton dua film keluarga terbaru produksi Indonesia : KING dan GARUDA DI DADAKU.
Maka, dari lantai G Detos, kami naik lift menuju lantai 2, lantai di mana bioskop berada. Di dalam lift, kami hanya berdua dan saya mulai iseng menjahili Nico. Saya sengaja menggandeng lengannya dan menyandarkan kepala di pundaknya. Nico langsung merengut, "apaan sih?!"
Di lantai LG, dua orang ibu berjilbab yang hendak masuk ke dalam lift, terkejut melihat pemandangan yang mungkin tak lazim itu. Salah seorang di antaranya mengucapkan istighfar dan mencegah temannya masuk ke dalam lift.
Setelah pintu lift menutup, Nico langsung melotot, "kamu apa-apaan sih? Ibu-ibu itu jadi salah sangka pada kita!"
"Biarin. Yang penting 'kan kita tidak pacaran. Lagian, kita 'kan tidak kenal dengan ibu-ibu tadi. Sudah, cuekin aja," balas saya santai.
Nico cemberut, tapi tidak bicara apa-apa lagi. Sementara saya senyum-senyum, diam-diam tidak enak hati sudah 'memfitnah' Nico yang culun itu.
Tiba di bioskop, kami langsung membeli tiket. Wuih, tiket untuk pemutaran film KING pukul 12.00 sudah terjual banyak dan kami hanya dapat kursi di barisan ketiga dari depan. Sementara untuk film GARUDA DI DADAKU (GDD), karena kami membeli tiket untuk jam pertunjukan 14.25, kami bisa mendapatkan kursi di bagian tengah teater.
Nah, inilah yang terjadi saat saya dan Nico menyaksikan dua film keluarga bernafaskan semangat olahraga ini. Mengharukan dan... banyak iklannya juga, sih.
KING
King bercerita tentang Guntur (Rangga Aditya), anak desa Jampit yang hanya tinggal berdua dengan bapaknya, Tejo (Mamiek Prakoso), seorang pengumpul bulu angsa untuk dibuat kok. Tejo ngefans berat pada Liem Swee King dan berambisi menjadikan anaknya sebagai juara bulutangkis seperti King. Apalagi, Guntur memang sangat berbakat.
Namun, usaha Tejo tidak semudah itu. Keterbatasan ekonomi membuat Tejo kesulitan menjadikan Guntur seorang juara badminton. Apalagi, Guntur yang anaknya gampang ngambek, lama-kelamaan bosan dengan sikap keras Tejo yang menekannya untuk menjadi juara. Masalah demi masalah mengganggu ayah dan anak itu. Mulai dari persoalan raket, biaya masuk klub bulu tangkis dan biaya ke Kudus untuk mengikuti seleksi beasiswa klub Djarum.
Beruntung Guntur punya sahabat-sahabat yang dengan gigih membantunya. Ada Raden (Lucky Martin), anak bandel yang banyak akal tapi juga sering membuat Guntur mendapatkan kesulitan, Michelle (Valerie Thomas), cewek bule dari kota yang suka menggebuk kasur pakai raket dan Mas Raino (Ariyo Wahab), jagoan badminton di kampung yang suka membantu Tejo dan Guntur.
Hubungan ayah dan anak dalam film ini digambarkan putus-nyambung, seperti niat Guntur jadi juara bulutangkis yang juga on-off. Tapi sebagai sutradara baru, Ari Sihasale cukup bagus dalam menggarap film ini. Selain ngakak melihat kekonyolan Raden, Nico sempat menangis melihat bagaimana Guntur berbaikan lagi dengan Tejo. Ah, malu-maluin aja si Nico ini....
Yang pasti, iklan PT Djarum, BCA dan Pocari Sweat, cukup menonjol dalam film ini. Yah, namanya juga bikin film mahal, jadi memang wajar kalau menggandeng banyak sponsor. Sekalipun ada pihak-pihak yang memboikot film ini karena menganggap film ini sebagai kampanye terselubung produsen rokok, saya suka dengan film ini. Iklan, segencar apapun, hanya akan menjadi iklan jika konsumen tidak menanggapinya. Santai saja....
GARUDA DI DADAKU
Film karya sutradara favorit terbaru saya, Ifa Isfansyah, ini lebih saya sukai daripada KING. Barangkali karena Ifa lebih berpengalaman sebagai sutradara daripada Ari, maka GDD lebih 'mengalir' dan enak ditonton daripada KING. Tidak heran kalau film ini konon sudah mengumpulkan 300 ribu penonton dalam waktu kurang dari seminggu (Tempointeraktif.com, Senin 22/06) saja.
Ceritanya pun mirip KING, tentang anak 12 tahun yang ingin menjadi bintang olahraga dengan segala keterbatasannya. Adalah Bayu (Emir Mahira), anak yatim yang hanya tinggal bertiga dengan ibunya Wahyuni (Maudy Koesnaedi) dan kakeknya Usman (Ikranegara). Bayu ingin menjadi anggota timnas sepakbola Indonesia U-13, namun terhambat karena Usman tidak merestui. Sebaliknya, Usman mendorong cucunya menjadi seniman dengan memaksa Bayu ikut berbagai macam les, mulai dari les musik sampai les melukis.
Beruntung Bayu bersahabat dengan Heri (Aldo Tansani) yang lumpuh namun menjadi 'manajer' bagi Bayu. Heri yang membantu dan mendorong semangat Bayu untuk masuk timnas U-13. Sebagai langkah pertama, Heri dan supirnya yang kocak dan setia, Dullah (Ramzi), membantu Bayu mencari lapangan untuk berlatih. Tujuannya, agar Bayu dapat mengikuti seleksi untuk program beasiswa SSB Arsenal. Dengan bergabung dengan SSB, maka akan terbuka kesempatan bagi Bayu untuk ikut seleksi timnas U-13.
Namun semuanya tentu saja tidak mudah. Selesai masalah lapangan bola, muncul masalah yang lebih gawat. Bagaimana Bayu harus kucing-kucingan dengan kakeknya, membagi waktu antara berlatih bola dengan mengikuti les yang minta ampun banyaknya. Namun, dengan dibantu Heri, Dullah dan Zara (Marsha Aruan), Bayu dapat mengatasi segalanya.
Namun tak selamanya usaha Bayu sukses. Suatu saat, Usman mengetahui bahwa Bayu sudah bergabung dengan SSB untuk menjadi bintang lapangan hijau. Karena shock, sang kakek langsung kena serangan jantung dan harus masuk rumah sakit! Bayu lalu dihadapkan pada sebuah dilema : kakeknya atau mimpinya mengenakan kostum berlambang Garuda di dadanya.
Saya lebih suka film ini daripada KING sekalipun iklan shampoo Lifebuoy juga menggelinding bagai bola. Tapi tidak masalah, sepanjang filmnya enak ditonton. Ifa Isfansyah dan segenap pihak yang terlibat dalam film ini memang moiii....
Sekitar pukul 16.00, saya dan Nico beranjak meninggalkan bioskop dengan semangat nasionalisme yang naik kira-kira satu level daripada sebelumnya. Tapi, tentu saja kami tidak harus menjadi olahragawan untuk mencintai Indonesia....
Di lantai G, lagi-lagi kami bertemu dua ibu berjilbab yang sebelumnya nyaris satu lift dengan kami. Melihat mereka, lagi-lagi saya iseng mengerjai Nico. Tanpa ba-bi-bu lagi, saya langsung mencium pipi Nico di depan ibu-ibu tersebut dan pengunjung mal yang lain, membuat mereka bengong, bahkan mungkin kaget.
Nico memekik kaget karena tidak menyangka sama sekali. Sebelum ia sempat berbuat sesuatu, saya buru-buru kabur menuju pintu keluar di bawah tatapan satpam yang terheran-heran melihat kami berdua.
"Pasha sialaaaan! Mau kabur ke mana kamu?!"
Nico mengejar saya dengan wajah kencang mirip kencangnya wajah Guntur saat bertengkar dengan Tejo.
Saya cuek dan terus kabur. Hmmm... mungkin selanjutnya bagus kalau dibuat film berjudul "Mardi". Tahu 'kan, Mardi siapa yang saya maksud?
Sudah dulu, ya!
Gambar:
King : www.whatzups.com
Garuda di Dadaku : www.21cineplex.com
Read More..
Maka, dari lantai G Detos, kami naik lift menuju lantai 2, lantai di mana bioskop berada. Di dalam lift, kami hanya berdua dan saya mulai iseng menjahili Nico. Saya sengaja menggandeng lengannya dan menyandarkan kepala di pundaknya. Nico langsung merengut, "apaan sih?!"
Di lantai LG, dua orang ibu berjilbab yang hendak masuk ke dalam lift, terkejut melihat pemandangan yang mungkin tak lazim itu. Salah seorang di antaranya mengucapkan istighfar dan mencegah temannya masuk ke dalam lift.
Setelah pintu lift menutup, Nico langsung melotot, "kamu apa-apaan sih? Ibu-ibu itu jadi salah sangka pada kita!"
"Biarin. Yang penting 'kan kita tidak pacaran. Lagian, kita 'kan tidak kenal dengan ibu-ibu tadi. Sudah, cuekin aja," balas saya santai.
Nico cemberut, tapi tidak bicara apa-apa lagi. Sementara saya senyum-senyum, diam-diam tidak enak hati sudah 'memfitnah' Nico yang culun itu.
Tiba di bioskop, kami langsung membeli tiket. Wuih, tiket untuk pemutaran film KING pukul 12.00 sudah terjual banyak dan kami hanya dapat kursi di barisan ketiga dari depan. Sementara untuk film GARUDA DI DADAKU (GDD), karena kami membeli tiket untuk jam pertunjukan 14.25, kami bisa mendapatkan kursi di bagian tengah teater.
Nah, inilah yang terjadi saat saya dan Nico menyaksikan dua film keluarga bernafaskan semangat olahraga ini. Mengharukan dan... banyak iklannya juga, sih.
KING
King bercerita tentang Guntur (Rangga Aditya), anak desa Jampit yang hanya tinggal berdua dengan bapaknya, Tejo (Mamiek Prakoso), seorang pengumpul bulu angsa untuk dibuat kok. Tejo ngefans berat pada Liem Swee King dan berambisi menjadikan anaknya sebagai juara bulutangkis seperti King. Apalagi, Guntur memang sangat berbakat.
Namun, usaha Tejo tidak semudah itu. Keterbatasan ekonomi membuat Tejo kesulitan menjadikan Guntur seorang juara badminton. Apalagi, Guntur yang anaknya gampang ngambek, lama-kelamaan bosan dengan sikap keras Tejo yang menekannya untuk menjadi juara. Masalah demi masalah mengganggu ayah dan anak itu. Mulai dari persoalan raket, biaya masuk klub bulu tangkis dan biaya ke Kudus untuk mengikuti seleksi beasiswa klub Djarum.
Beruntung Guntur punya sahabat-sahabat yang dengan gigih membantunya. Ada Raden (Lucky Martin), anak bandel yang banyak akal tapi juga sering membuat Guntur mendapatkan kesulitan, Michelle (Valerie Thomas), cewek bule dari kota yang suka menggebuk kasur pakai raket dan Mas Raino (Ariyo Wahab), jagoan badminton di kampung yang suka membantu Tejo dan Guntur.
Hubungan ayah dan anak dalam film ini digambarkan putus-nyambung, seperti niat Guntur jadi juara bulutangkis yang juga on-off. Tapi sebagai sutradara baru, Ari Sihasale cukup bagus dalam menggarap film ini. Selain ngakak melihat kekonyolan Raden, Nico sempat menangis melihat bagaimana Guntur berbaikan lagi dengan Tejo. Ah, malu-maluin aja si Nico ini....
Yang pasti, iklan PT Djarum, BCA dan Pocari Sweat, cukup menonjol dalam film ini. Yah, namanya juga bikin film mahal, jadi memang wajar kalau menggandeng banyak sponsor. Sekalipun ada pihak-pihak yang memboikot film ini karena menganggap film ini sebagai kampanye terselubung produsen rokok, saya suka dengan film ini. Iklan, segencar apapun, hanya akan menjadi iklan jika konsumen tidak menanggapinya. Santai saja....
GARUDA DI DADAKU
Film karya sutradara favorit terbaru saya, Ifa Isfansyah, ini lebih saya sukai daripada KING. Barangkali karena Ifa lebih berpengalaman sebagai sutradara daripada Ari, maka GDD lebih 'mengalir' dan enak ditonton daripada KING. Tidak heran kalau film ini konon sudah mengumpulkan 300 ribu penonton dalam waktu kurang dari seminggu (Tempointeraktif.com, Senin 22/06) saja.
Ceritanya pun mirip KING, tentang anak 12 tahun yang ingin menjadi bintang olahraga dengan segala keterbatasannya. Adalah Bayu (Emir Mahira), anak yatim yang hanya tinggal bertiga dengan ibunya Wahyuni (Maudy Koesnaedi) dan kakeknya Usman (Ikranegara). Bayu ingin menjadi anggota timnas sepakbola Indonesia U-13, namun terhambat karena Usman tidak merestui. Sebaliknya, Usman mendorong cucunya menjadi seniman dengan memaksa Bayu ikut berbagai macam les, mulai dari les musik sampai les melukis.
Beruntung Bayu bersahabat dengan Heri (Aldo Tansani) yang lumpuh namun menjadi 'manajer' bagi Bayu. Heri yang membantu dan mendorong semangat Bayu untuk masuk timnas U-13. Sebagai langkah pertama, Heri dan supirnya yang kocak dan setia, Dullah (Ramzi), membantu Bayu mencari lapangan untuk berlatih. Tujuannya, agar Bayu dapat mengikuti seleksi untuk program beasiswa SSB Arsenal. Dengan bergabung dengan SSB, maka akan terbuka kesempatan bagi Bayu untuk ikut seleksi timnas U-13.
Namun semuanya tentu saja tidak mudah. Selesai masalah lapangan bola, muncul masalah yang lebih gawat. Bagaimana Bayu harus kucing-kucingan dengan kakeknya, membagi waktu antara berlatih bola dengan mengikuti les yang minta ampun banyaknya. Namun, dengan dibantu Heri, Dullah dan Zara (Marsha Aruan), Bayu dapat mengatasi segalanya.
Namun tak selamanya usaha Bayu sukses. Suatu saat, Usman mengetahui bahwa Bayu sudah bergabung dengan SSB untuk menjadi bintang lapangan hijau. Karena shock, sang kakek langsung kena serangan jantung dan harus masuk rumah sakit! Bayu lalu dihadapkan pada sebuah dilema : kakeknya atau mimpinya mengenakan kostum berlambang Garuda di dadanya.
Saya lebih suka film ini daripada KING sekalipun iklan shampoo Lifebuoy juga menggelinding bagai bola. Tapi tidak masalah, sepanjang filmnya enak ditonton. Ifa Isfansyah dan segenap pihak yang terlibat dalam film ini memang moiii....
Sekitar pukul 16.00, saya dan Nico beranjak meninggalkan bioskop dengan semangat nasionalisme yang naik kira-kira satu level daripada sebelumnya. Tapi, tentu saja kami tidak harus menjadi olahragawan untuk mencintai Indonesia....
Di lantai G, lagi-lagi kami bertemu dua ibu berjilbab yang sebelumnya nyaris satu lift dengan kami. Melihat mereka, lagi-lagi saya iseng mengerjai Nico. Tanpa ba-bi-bu lagi, saya langsung mencium pipi Nico di depan ibu-ibu tersebut dan pengunjung mal yang lain, membuat mereka bengong, bahkan mungkin kaget.
Nico memekik kaget karena tidak menyangka sama sekali. Sebelum ia sempat berbuat sesuatu, saya buru-buru kabur menuju pintu keluar di bawah tatapan satpam yang terheran-heran melihat kami berdua.
"Pasha sialaaaan! Mau kabur ke mana kamu?!"
Nico mengejar saya dengan wajah kencang mirip kencangnya wajah Guntur saat bertengkar dengan Tejo.
Saya cuek dan terus kabur. Hmmm... mungkin selanjutnya bagus kalau dibuat film berjudul "Mardi". Tahu 'kan, Mardi siapa yang saya maksud?
Sudah dulu, ya!
Gambar:
King : www.whatzups.com
Garuda di Dadaku : www.21cineplex.com