Rabu, 31 Desember 2008

TERNYATA, SAYA MAKIN RAJIN NONTON FILM DI BIOSKOP!

Tahun 2008 saya lalui dengan menonton di bioskop dalam frekuensi yang cukup sering untuk ukuran saya yang (dulunya) malas ke bioskop. Seingat saya, dalam kurun waktu setahun, saya sudah menyaksikan (di bioskop) film-film sebagai berikut (saya ingat-ingat dulu ya....) :

FILM INDONESIA

Ayat-ayat Cinta
Ini film pertama yang saya tonton pada tahun 2008. Bersama adik, sepupu-sepupu dan tante-tante saya, saya ditraktir oleh om yang kebetulan duitnya memang cukup banyak. Gara-garanya sepele : om saya itu kenal baik dengan Om Burhan, suami Marini saat ini (pemeran ibunya Carissa Putri) beserta Marini-nya sendiri. Saya pribadi sih kurang suka film ini. Dongeng banget. Tapi jangan bilang-bilang om saya ya, saya tuh sebel banget melihat akting Marini yang sok cakep. Pst... ini rahasia kita, ya!




Tarix Jabrix
Saya lebih suka film ini daripada AAC. Walaupun tidak lucu-lucu amat, setidaknya film ini tidak sok 'berat', tidak sok art. Lagipula, saya suka soundtrack-nya juga enak buat didengarkan kok.





Cinta Setaman
Menonton film ini bikin saya menyesal.... Huh, seandainya dalam daftar pemerannya tidak ada nama Ria Irawan, Nicholas Saputra dan Surya Saputra, saya sudah ngomel-ngomel sendiri mengutuk film yang katanya 'personal' ini. Nico yang main jadi Aa' Penjual DVD ternyata punya cara yang aneh untuk menyatakan cinta : dengan mengeluarkan 'isi kandang binatang peliharaan dari mulutnya'. Sebel banget mendengar orang ngomong jorok!



Takut
Saya menonton ini gara-gara malas pulang cepat-cepat setelah membeli tiket Jiffest. Ya sudah, meski meringis gara-gara harus membayar tiket yang harganya selangit (bagi saya), saya masuk saja ke audiotorium untuk menonton. Katanya film ini kelas internasional, diproduseri oleh dua bule yang saya tidak kenal namanya, apalagi orangnya.... Dan... dari enam cerita yang ditampilkan, hanya Show UnitThe List dan Dara yang cukup memuaskan. Yang lainnya, Peeper, Titisan Naya dan The Rescue (duh, ini nyontek film nagri ya?), di mana letak ke-Takut-annya?!


Drupadi
Ternyata benar, kita tidak boleh menggantungkan harapan setinggi langit, bisa kecewa, nantinya. Film ini membuktikannya. Di teater, begitu film usai, ada penonton (yang mungkin adalah pemain/kru/pendukung film ini) yang berinisiatif bertepuk tangan untuk memancing penonton lain melakukan hal serupa. Tapi yang terpancing hanya segelintir. Sisanya--termasuk saya--ogah memberi penghargaan serupa. Kecewa berat, film yang digadang-gadang akan bagus, membela perempuan blablabla ini ternyata mutunya sependek durasinya. Maaf ya Mbak Dian, Mas Dwi, Mas Nico dan Mas Ario serta Kak Riri dan Mbak Mira... mendingan bikin film berlatar masa kini deh, ga usah sok art.

3 Doa 3 Cinta
Kalau yang ini, sudah saya tonton di bioskop sebanyak... 6 kali! Selain karena kagok (tapi suka) melihat Nico jadi kiai, juga karena karakter-karakter kocak seperti Rian dan Zaenal dalam film perdana Nurman Hakim ini. Meski gambarnya agak buram dan alurnya lambat, tokoh-tokoh dalam filmnya yang digambarkan amat manusiawi ini bikin saya jatuh cinta.... Dai suki desu!

FILM LUAR NEGERI

The Dark Knight
Film terbaik tahun 2008! Saya bisa bilang apa lagi? Seandainya waktu itu duit saya banyak, mungkin saya sudah menonton film ini sampai belasan kali!




Quantum of Solace
Ehm... agak membingungkan meskipun saya sudah menonton prekuelnya. Lumayanlah, James Bond-nya kurang cakep tapi aksinya oke!






Twilight
Ho... ini film yang romantis dan bikin penasaran. Wajah Bella yang manis, Edward yang ganteng sekaligus mengerikan dan Jasper yang cakep, bikin mata saya terhibur. Selain itu, saya juga suka melihat kulit Edward yang berkilauan diterpa sinar matahari. Ceritanya sih biasa, porsi tegangnya juga baru benar-benar ada 30 menit menjelang film usai. Tapi, okelah sebagai hiburan.




Dunya & Desie
Film Belanda untuk remaja dengan tema yang cukup 'berat' tapi dikemas dengan ringan dan menghibur. Tapi, apa akan lolos menjadi calon penerima Oscar 2009 kategori Film Berbahasa Asing? Kita lihat saja nanti. Eh, Maryam Hassouni (Dunya) tampangnya ga kalah dengan artis bule. Cantik banget!





Sekian dulu.... Sepertinya masih ada film yang belum saya sebutkan, tapi hanya judul-judul di atas yang saya ingat saat ini. Kapan-kapan saya isi lagi, deh.

Selamat Tahun Baru 2009!

Read More..

Sabtu, 27 Desember 2008

JUNJOU ROMANTICA : COWOK-COWOK PENUH CINTA

Silakan tertawa melihat judul di atas. Habis, saya tidak punya ide lain mengenai judul yang lebih bagus dan tidak norak. Apalagi, saya belum menuntaskan musim pertama serial anime yang mempunyai cerita yang amat berbeda dengan anime lain yang selama ini saya tonton.

Bagi yang belum tahu, JUNJOU ROMANTICA (mungkin bisa dibaca JUNJOO ROMANTICA) itu... adalah anime tentang cowok-cowok gay, yang menyorot kehidupan (percintaan) mereka. Yaoi berupa anime yang diangkat dari karya Shungiku Nakamura, yang pertama yang saya ikuti dengan penuh minat. Soalnya, sebelumnya, saya memang kurang suka film-film gay, termasuk yang non-animasi. Namun setelah melihat tampang Misaki-kun yang imut dan hubungannya yang kompleks dengan Usagi-san (kelinci?) yang kaya, terkenal dan terpelajar (tapi aneh), saya berpikir bahwa tidak apa-apa jika sesekali kita menikmati sesuatu yang berbeda dengan keseharian kita. Kalau memang bagus, kenapa tidak dinikmati saja? Lagipula, lucu... meski ceritanya mirip sinetron, (tapi tidak ada adegan tampar-menampar) penggarapannya bagus juga, enaklah buat ditonton.

Karena masih baru, saya masih agak bingung dengan hubungan di antara tokoh-tokohnya. Yang pasti, ada Misaki, cowok 18 tahun yang sempat jadi murid Akihiko Usami dan kini ngekos di rumah sang guru. Akihiko atau Usagi-san sendiri adalah novelis terkenal yang sebelumnya cinta mati pada kakak Misaki, Takahiro. Sayang, cintanya tak berbalas, malah Misaki yang jatuh cinta duluan pada sang sensei...


Selain itu, ada Hiroki, cowok teman masa kecil Usagi-san yang cintanya pada Usagi-san juga tak berbalas. Karena itu, saat Nowaki memasuki hidupnya, ia mulai belajar melupakan Usagi-san yang ia sapa Akihiko. Tapi, ada juga Miyagi--rekan Hiroki sesama dosen yang baru saja bercerai dengan istrinya--yang kelihatannya juga tertarik pada Hiro-san yang imut.. Belakangan, Miyagi malah menerima cinta Shinobu, bekas adik iparnya yang sebaya dengan Misaki...

Jadi, tampaknya, cowok-cowok yang model rambutnya sama semua ini adalah cowok-cowok setia, agak goblok karena mengharapkan cinta tanpa pernah mengatakan pada orang yang dicintai tapi... manis juga.... Misaki yang imut, Hiro-san yang pemarah tapi rapuh dan Miyagi yang terkenang-kenang pada sang sensei yang telah lama tiada... what an anime! Saya setuju bahwa desain karakter dalam anime ini sangat matang dan membuat iri.

Soalnya, bagi saya, mendesain karakter yang unik tapi tidak mubazir itu susaaah sekali! Yah, problem penulis cerita di Indonesia pada umumnya.... Tidak percaya? Lihat saja sinetron-sinetron (dan film) Indonesia, banyak karakter tidak dibutuhkan dalam cerita, yang cuma menuh-menuhin frame! Tapi... sudahlah. Lagipula, saya juga masih sering melakukan kesalahan tersebut di atas. Yah, ibarat ikut menampar diri sendiri. Hehehe

Kembali ke Misaki-kun dan kawan-kawan. Anime ini membuat saya membuang jauh-jauh rasa malu karena menonton 'film kartun' yang (katanya) hanya untuk anak-anak. Benar-benar penasaran dibuatnya, ingin tahu apa yang terjadi selanjutnya antara Misaki-kun dengan Usagi-san, Hiro-san yang otaknya encer dengan Nowaki dan tentu saja Miyagi yang setengah mati menghadapi kekerasan hati Shinobuchin.

Selain itu, mungkin karena ada 'sensor', adegan-adegannya tidak vulgar, meskipun banyak yang klise. Adegan ciuman yang paling sering ditampilkan untuk menggambarkan cinta di antara mereka yang membara (busyet, kebakaran dong!). Usagi-san cukup 'nakal' dalam memperlakukan Misaki-kun. Hiro-san yang gengsian mau saja dipeluk dari belakang oleh Nowaki yang madly in love with him. Miyagi yang suka bercanda (dia cowok favoritku!) tapi sukses bikin Shinobu menangis sesenggukan....Baik Misaki-kun mau pun Hiro-san sering marah-marah atau kesal pada pasangan masing-masing, tapi buntut-buntutnya, tetap saja mau satu diperlakukan apa saja. Sementara Miyagi, dia yang 'pegang kendali'. Ikiiti shita....

Junjou Romantica memang bukan cerita yang jamak terjadi dalam keseharian kita. Menonton film ini membuat kita berpikir bahwa dunia ini isinya gay melulu--ya iyalah, namanya juga yaoi--yang butuh cinta. Cieee.... Pertemuan Hiroki atau Hiro-san dengan Nowaki pun mirip dengan pertemuan sepasang (calon) kekasih dalam kisah cinta straight, sangat kebetulan. Kebetulan juga, Nowaki langsung cinta pada pandangan pertama. Yang agak unik mungkin pertemuan Miyagi dan Shinobu, sampai-sampai Miyagi sempat mengira Shinobu membencinya!

Bagusnya, orang-orang di sekitar mereka--baik yang gay mau pun bukan--sangat pengertian. Konflik dalam cerita ini benar-benar hanya berpusat pada diri mereka--pasangan gay bersangkutan--sendiri. Beda banget ya dengan sinetron kita yang sumber konfliknya berasal dari tokoh di luar diri tokoh utamanya. Maksudnya, yang berasal dari tokoh antagonis yang ga ketulungan jahatnya....

Dan oh ya, tak seperti cerita gay yang acap digambarkan (di Indonesia), kaum gay dalam cerita ini tidak digambarkan aneh, posesif dan gila. Cinta ya secinta-cintanya, tapi tak sampai pada taraf "kalau saya tidak bisa memilikimu, orang lain juga tidak bisa" atau "kaulah segalanya, tak ada yang lain sampai aku mati". Yah... sama-lah dengan kaum straight, kalau pacaran ga gitu-gitu amat, ga kayak Romeo dan Juliet, ga sampai terobsesi hingga mata hati jadi buta....

Yeah, sudah seharusnya seperti itu 'kan? Meskipun cinta mati, jangan sampai mata tertutup untuk melihat orang lain. Hehehe. Yang wajar-wajar inilah yang membuat saya suka pada Junjou Romantica. Meskipun, kalau sampai mengalaminya sendiri, wah... jangan sampai, deh!

Misaki-kun, dai suki desu.... Eh, ngomong apa sih, ini 'kan cuma anime?!

Read More..

Kamis, 18 Desember 2008

3 DOA 3 CINTA : PANGGUNGNYA DUO YOGA

Detos (maklum, yang nulis orang Depok!), Kamis siang, 18 Desember 2008. Usai interview kerja--yang kelihatannya akan gagal lagi hehehe--yang melelahkan di salah satu sekolah di Parung (jauh juga dari rumah saya), saya memilih 'kabur' ke salah satu pusat perbelanjaan paling beken di kota Depok itu. Bukan mau belanja, melainkan nonton....

Setelah dibuat manyun dengan karcis yang 15 ribu rupiah (kirain sama dengan di Cijantung, cukup ceban hehehe), saya cukup puas menyaksikan kisah tiga santri Pesantren Al-Hakim yang shalih dan... cakep-cakep hehehe. Ada Huda (Nicholas Saputra) yang porsinya paling banyak padahal konflik yang dihadapinya lebih ringan daripada Syahid (Yoga Bagus), yang tak cuma kehilangan ayah, tetapi juga harta benda dan kebebasannya. Tapi di antara mereka bertiga, karakter yang paling manusiawi--menurut saya, lho--adalah Rian (Yoga Pratama, yang dapat Citra 2008 itu), santri paling jahil yang suka bikin ketawa.

Ceritanya, Huda adalah anak angkat dan calon menantu Kiai Wahab yang sudah tidak sabar ingin mencari ibu kandungnya, selepas dari pesantren. Sayang, santri yang paling disayang ini merasa tidak enak hati pada Kiai Wahab (Brohisman) yang ternyata mempunyai rencana untuk cowok culun ini. Mau dinikahkan dengan Fatimah (atau Farokah? Saya lupa nama tokohnya, diperankan Diah Arum), putri Kiai Wahab, coy! Padahal, Huda naksir Donna Satelit (Dian Sastrowardoyo), penyanyi dangdut yang goyangnya justru tidak mirip satelit. Apalagi, Donna berjanji membantu Huda mencari alamat ibu Huda di Jakarta. Tambah jauhlah hati Huda dari keinginan ayah angkatnya....


Lalu ada Rian, favorit saya. Cowok jahil ini ngidam bikin film. Bahkan, dia belajar banyak soal proyektor film dari Pak Toha (Butet Kartarejasa), proyeksionis layar tancap di pasar malam d mana Donna juga menjadi penyanyi. Berbekal hadiah handycam dari ibunya, dia ingin memajukan usaha keluarga. Namun, kenyataan bahwa ibunya mau menikah lagi membuat Rian ngambek dan tak mau lagi pulang ke Surabaya, kota asalnya. Sebaliknya, dia ingin ikut rombongan Pak Toha saja, menjadi proyeksionis layar tancap....

Kisah lainnya--dan paling berat sekaligus agak aneh--adalah konflik yang melanda Syahid. Berasal dari keluarga miskin dengan ayah yang gagal ginjal, membuat Syahid menjadi labil. Dia menyalahkan 'Yahudi-Kafir-Amerika' atas kemalangan yang menimpa ayahnya dan terhanyut dalam Islam aliran 'garis keras'. Bahkan, dia bertekad mati syahid, lalu masuk surga, sesuai dengan namanya sendiri. Di sinilah anehnya. Alih-alih mengusahakan kesembuhan ayah yang sangat dicintainya, dia malah ingin mengorbankan diri dan hanya berharap berjumpa ayahnya di akhirat, di surga. Putus asa sih putus asa, tapi rasanya aneh saja...

Di luar kisah trio badung yang suka mengendap-endap keluar pondok pada tengah malam untuk bersenang-senang ini, ada cerita Kiai Wahab yang ingin anak laki-laki untuk mengelola pesantren. Dan... satu lagi, kisah hombreng di pesantren!

Hah? Gay?

Iya! Pas adegan-adegan pelecehan seksual yang dilakukan oleh santri senior (atau pengawas?) terhadap adik kelas Huda, saya jadi teringat teman di kampus dulu. Semasa SMA, karena bandel, dia dikirim ke sebuah pesantren. Eh, baru saja seminggu di sana, sudah ada (seorang santri senior!) yang menggerayangi tubuhnya saat santri-santri lain sedang tidur. Wah, teman saya langsung kabur, mengancam akan bunuh diri di depan orang tuanya kalau dikembalikan ke pesantren. Tapi ada hikmahnya juga, setelah itu, teman saya itu jadi sadar, bertobat, insyaf, tidak bandel lagi. Lucunya, waktu saya tanya perasaannya pas 'diperkosa' kakak kelasnya, dia menjawab, "yah... gitu, deh..." Yeee... itu sih ada ogahnya, tapi ada juga pengennya.... Dasar!

Hmm... ternyata di pesantren memang bisa saja terjadi 'hal seperti itu'. Padahal, menurut buku yang entah apa judulnya, siapa yang menulis dan kapan saya baca (saya lupa!), kaum homoseksual akan mengalami siksaan yang mengerikan : ditusuk tombak dari (maaf) anus hingga tembus ke mulut! Hiii.... Masalahnya, ini di pesantren, gitu lho.... Tempat di mana orang belajar mengendalikan diri dan mendekatkan diri pada Allah.

Tapi yah... kembali lagi, santri pun hanya manusia. Butuh kasih sayang dan butuh 'memerkosa' eh penyaluran hasrat....

Cukuplah soal santri gay. Yang pasti, 3 Doa 3 Cinta cukup menghibur karena humor-humornya yang manusiawi dan pernah juga saya alami : mengantuk saat mendengar khotbah dan tertawa melihat teman sedang casting. Saya sih kurang peduli dengan pesan moralnya karena pesan moral sudah cukup saya dengar dari Mamah Dedeh dan Aa' (ini acara favorit tante saya, yang suka saya tonton juga) tiap pagi di TV, yang saya cari hanya HIBURAN.

Alurnya agak lambat. Sampai saat Huda dicium Donna (oh yes... Huda tak 'melawan' saat disosor Donna, malah menikmati lalu hanya berseru, "astaghfirullaaah!"), saya belum menyadari bahwa Huda pun punya masalah cukup pelik seperti halnya dua sobatnya. Konfliknya begitu 'halus'.... Tapi, sedih juga sih, melihat trio santri cakep plus Kiai Wahab masuk penjara hanya gara-gara sebuah handycam.... Pelajaran dari insiden ini adalah... jangan main-main dengan kamera kalau belum mengerti cara mengoperasikannya!

Tapi, sudahlah. Seperti yang saya--yang banyak omong ini--sebutkan tadi, saya cukup puas. Akting Yoga Pratama dan Yoga Bagus, paling ciamik, lebih bagus daripada Nico dan (apalagi) Dian. Goyang satelit? Satelit apaan? Mestinya tiap kali goyang, Dian pakai pemeran pengganti. Diganti Olga Syahputra, misalnya hehehe.... Pantesan ga laku, soalnya goyangnya kurang hot!

Bahkan, saya jadi merasa juri FFI 2008 mesti lebih melek lagi kalau menilai film. Selain Yoga Pratama, mestinya Yoga Bagus masuk nominasi juga tuh. Kalau Mas Nico sih.... Bolehlah, walaupun masih ke-Rangga-rangga-an. Saya juga kagok pas melihat Nico menjadi pengajar (jadi pengganti Pak Kiai dan jadi kepala rumah tangga yang sarungan melulu!) di pesantren itu. Mungkin karena terpengaruh selentingan-selentingan yang saya dengar tentang dirinya, ya? Hehehe.

Salut buat Nurman Hakim dan segenap tim pembuat film yang berusaha menyajikan film drama tentang dunia (yang berhubungan) dengan Islam. Saya jadi merasa bahwa, tidak ada yang salah jika sesekali kita berbuat khilaf, asalkan jangan keterusan dan jangan sampai disengaja. Tidak ada manusia yang sempurna. Seorang santri pun bisa jadi tukang ngintip seperti Rian mengintip dan bahkan nekad mengajak jalan calon istri Huda....

Maka, pesan moral dari 3 Doa 3 Cinta ini adalah (apa, ya?)... saya ingin menontonnya satu atau dua kali lagi. Setelah kecewa berat pasca menonton film-film seperti CINTA SETAMAN dan DRUPADI, akhirnya kutemukan juga film (Indonesia) yang bagus...

Wassalam!

Read More..

Selasa, 16 Desember 2008

DRUPADI YANG (TETAP) MENYEBALKAN

Akhirnya saya bisa juga menonton salah satu film yang saya tunggu-tunggu tahun ini, pada hari terakhir Jiffest 2008. Dari judul filmnya saja, sebenarnya saya kurang suka karena merujuk pada salah seorang tokoh dalam kisah Mahabrata yang--bagi saya--menyebalkan : Drupadi.


Drupadi menyebalkan? Bukankah dia tokoh wanita yang sangat diagung-agungkan dalam kisah Mahabrata versi Jawa?

Hmmm... Iya, sih. Tapi kalau tidak suka, mau apa lagi? Sejak mengenal kisah ini, baik versi asli--India--mau pun versi Jawa, saya kok kurang respek pada tiga tokoh ini : Yudhistira (karena dengan gobloknya mau saja dikerjai d meja judi), Drupadi (karena ikut memanfaatkan perang maha dahsyat untuk membalaskan dendamnya tanpa mengotori tangan sendiri) dan... Arjuna (karena selain menjadi ksatria paling ganteng, dia juga menjadi ksatria paling ganjen sejagad, ksatria kok genit!).

Sebaliknya, saya memfavoritkan Arimbi (tubuhnya yang 'bohay' mengingatkan saya pada seseorang yang istimewa), Bima (karena dia berangasan dan macho tapi juga bisa masak!) dan Karna (sosok baik dan anti persekongkolan yang menjadi saingan Arjuna).

Karna?

Hehehe, lebih aneh lagi kalau saya menyebut siapa tokoh yang paling tidak saya sukai dalam kisah Ramayana. Dia adalah Wibisana, si pengkhianat Rahwana. Meskipun berpihak pada--katanya--kebenaran yang diwakili oleh Rama, orang yang meninggalkan keluarganya tetap menjadi sosok yang minus di mata saya.

Eh, kok jadi membahas Wibisana, sih? 'Kan yang ditonton film tentang Drupadi, jadi yang dibahas ya cewek yang satu itu, dong! Hehehe, tadinya, saya berharap, setelah menonton film yang katanya merupakan interpretasi baru kisah Mahabrata ini, saya jadi lebih memahami Drupadi. Pada akhirnya, saya jadi memiliki pandangan yang baru tentang Drupadi : bahwa dia bukan wanita yang menyebalkan lagi.

Nyatanya, setelah tiga perempat jam duduk di kursi teater, saya tetap saja merasa bahwa Drupadi tetaplah wanita yang hanya bisa berteriak menyalahkan orang lain atas kemalangan yang menimpanya. Dan tentu saja, tetap menyebalkan...



Menonton film pendek karya Riri Riza (jujur nih, saya menonton film ini selain karena tertarik pada para pemain pria yang mengenakan kostum yang ehm, juga karena saya merasa punya ikatan emosional saja dengan nenek dan sepupu sang sutradara hehehe) ini adalah pengalaman yang membosankan. Berlambat-lambat di arena permainan dadu, padahal menurut saya tidak penting-penting amat. Okelah, adegan Drupadi hendak ditelanjangi oleh Kurawa mendapat porsi yang lumayan. Tapi sayangnya... Drupadi tetap saja digambarkan sebagai perempuan cengeng!

Karena--katanya--film ini dibuat berdasarkan sudut pandang Drupadi dan menurut Dian Sastro--produser merangkap pemerannya--adalah wanita yang menolak dirinya dijadikan bahan taruhan, saya mengharapkan sesuatu yang lebih dramatis daripada adegan kain Drupadi yang tak ada habisnya saat hendak ditelanjangi. Tapi yang disuguhkan malah sosok Drupadi yang lemah, yang hanya bisa menangis lalu berteriak menyalahkan para suaminya dan para sesepuh Hastinapurna--semuanya pria!--yang diam saja melihat penghinaan tersebut. Kalau Drupadi memang menolak dirinya dijadikan bahan taruhan dan memanusiakan dirinya, kenapa tidak ditampilkan saja adegan Drupadi melawan dengan pedang terhunus untuk membela kehormatannya, tanpa bergantung pada orang lain? Syukurlah Krishna menolongnya. Tapi tetap saja, Drupadi versi baru ini kelihatan sama dengan Drupadi yang saya tahu...

Lalu ada Karna, laki-laki yang mendendam pada Drupadi karena ditolak ikut sayembara memanah di awal film. Meskipun saya ngefans pada tokoh yang satu ini, saya kok merasa kemunculannya mubazir? Apalagi, pemerannya (Donny Alamsyah) kurang 'montok' tubuhnya hehehe. Soalnya, faedah keberadaan Karna dalam adegan Drupadi ditelanjangi tidak jelas. Dia cuma berdiri, memandang puas pada Drupadi dan Arjuna yang tak berdaya.... Huhuhu Karna, kok kamu digambarkan seperti itu, sih?

Tapi... suda
hlah, saya cukup menikmati pemandangan 'indah' dalam film ini (meskipun masih mikir, nasib penari berkalung permata yang diambil Kurawa bagaimana, ya?). Yap, apalagi kalau bukan kostum yang dikenakan oleh para pemain film bertabur bintang ini plus tentu saja, para pemainnya sendiri hehehe. Dian yang cantik (duh, beruntung sekali anak pengusaha yang bisa menjadi pacarnya itu!), Nicholas Saputra yang montok (sayang, Arjuna malah jadi mirip Rangga di tangannya, kurang genit!), Dwi Sasono yang ehm (setelah melihat kumisnya, saya pikir dia cukup pantas menjadi Yudhistira) dan Ario Bayu yang bulu dadanya paling 'rimbun' (mungkin inilah alasan dia terpilih memerani Bima), ow... itu semua menarik untuk disimak tanpa mengedipkan mata hehehe. Untuk kalian berempat, saya.... Ah, tidak jadi.... Malu...

Di luar itu, Butet Kertarejasa, tampil menonjol dan berhasil bikin sebal minta ampun berkat aktingnya sebagai Sangkuni. Untuk para pemeran Kurawa... yah, saya tahu, Kurawa digambarkan berwajah 'kurang beruntung'. Tapi, bukan berarti adik-adik Suyudana bisa digambarkan cungkring mirip personil The Changcuters 'kan?

Pada akhirnya, saya masih juga tidak mengerti, mengapa Drupadi menginginkan darah pentolan Kurawa untuk keramas. Apakah karena adegan Drupadi ditelanjangi tetap saja menampilkan Drupadi sebagai sosok yang lemah? Kelihatannya begitu. Drupadi tetap saja seorang yang (dulunya) teraniaya namun menganggap orang lain--baik langsung mau pun tidak--harus bertanggung jawab atas apa yang menimpanya. Padahal, kalau memang benar dia mandiri, bukankah sudah sewajarnya jika dia tidak terlalu menggantungkan nasib pada orang lain? Bayangkan, berapa banyak nyawa yang melayang dalam perang maha dahsyat yang sejatinya hanya demi membela kepentingan segelintir orang, termasuk Drupadi? Kok jadi mirip penyerbuan ke Irak ya?

Tapi... sudahlah. Memang, penonton cuma bisa protes, tidak tahu susahnya membuat film. Ya seperti saya ini.

Film Drupadi?

Hmmm... Membingungkan? Menyebalkan? Aneh?

Masa bodoh, yang penting bisa menikmati 'pemandangan indah' di dalamnya!


Read More..

Sabtu, 06 Desember 2008

TWILIGHT, DUNYA & DESIE : 2 FILM REMAJA YANG OKE-OKE SAJA

Catatan : Ini bukan review film. Cuma curhatan seorang Pasha setelah menonton dua film berturut-turut di hari dan bioskop yang sama...

Jumat tanggal 5 Desember 2008, untuk pertama kalinya saya menginjakkan kaki di FX, sebuah gedung kapital di samping Gelora Bung Karno. Saya memang tidak begitu suka mendatangi tempat seperti itu karena hanya akan membuat sakit hati melihat harga-harga yang ditawarkan di sana. Sebagai makhluk 'berbau' Kopaja atau Mayasari Bhakti (dan bukan bau Carolina Herrera atau berkulit kinclong ala Biotherm), saya lebih banyak menahan lapar (mata dan perut) jika harus memasuki tempat-tempat seperti FX maupun Plaza Indonesia...


Tapi, demi kecintaan pada film, minimal sebagai penonton, dengan menumpangi busway, akhirnya saya sampai juga di FX dan langsung menuju lantai atas, menuju bioskop. Ada urusan soalnya, urusan menonton salah satu film yang diputar di Jiffest 2008. Judulnya simpel : DUNYA & DESIE, film remaja berbahasa Belanda dan Arab yang disutradarai oleh Dana Nechustan.



Alasan membayar 20 ribu demi film ini juga simpel : karena berdasarkan sinopsis yang saya baca di buku program Jiffest 2008, cerita dalam film ini cukup simpel dan saya pikir tidak akan bikin kepala sakit seperti waktu menonton--katakanlah--film-film Garin Nugroho. Hehehe.
Tapi saya datang terlalu cepat. Film tayang pukul 16.30, sedangkan saat itu baru pukul 13.00. Masih bisa menonton satu film lagi sih. Saya pikir menonton satu dari dua film Indonesia yang tayang siang itu bisa membantu untuk membunuh waktu. Antara LOVE dan IN THE NAME OF LOVE, saya pikir saya lebih suka yang pertama meskipun belum pernah mendengar nama sutradaranya. Film yang kedua... ah, sutradaranya membuat saya 'trauma' menonton film-film karyanya pasca MENDADAK DANGDUT yang berisi gambar-gambar yang 'goyang-goyang' seperti goyangnya Titi Kamal. Jadi... LOVE saja, ah...

Namun pada satu saat, pandangan saya tertumpu pada poster film Hollywood yang menampilkan sepsang remaja nan rupawan yang membuat air liur saya hampir menetes seperti vampir melihat kambing eh darah segar manusia. Setahu saya, film itu, TWILIGHT, adalah film yang cukup ditunggu oleh penggemar novelnya. Mungkin saja ceritanya memang bagus. Namun yang pasti, saya lebih tertarik menikmati 'pemandangan indah' dalam film itu : dua pemeran utama yang sosoknya membuat saya sirik setengah mati. Hehehe.
Jadilah, saya mengeluarkan ekstra 15 ribu rupiah demi memuaskan nafsu eh hasrat melihat pemandangan yang 'menyegarkan' di layar lebar. Padahal, untuk pulang ke Depok, saya harus mengeluarkan biaya yang lumayan besar. Mudah-mudahan apa yang saya tonton ini sepadan dengan rasa lapar saya karena terpaksa tidak membeli cemilan teman menonton. Wuh!

Dan... memang sepadan. Walaupun TWILIGHT cukup muram, saya tersenyum-senyum menyaksikan humor-humor yang muncul lewat tokoh-tokoh 'penggembira' seperti Mike (Michael Welch) dan Eric (Justin Chon). Jasper (Jackson Rathbone) juga sempat mengundang tawa saat diperkenalkan pada Bella (Kristen Stewart) oleh Edward (Robert Pattinson) di rumah keluarga Cullen. Bahkan saat Alice menjilat tangannya yang berlumuran darah Bella di studio balet, di saat saudara-saudaranya berusaha mengalahkan James (Cam Gigandet) si vampir jahat, saya juga tertawa. Yeah, namanya juga film remaja, ya harus ada lucu-lucunya dong.

Oke, TWILIGHT punya cerita yang klasik, cinta 'terlarang' yang melibatkan Bella, seorang manusia berparas manis, dengan Edward Cullen, seorang vampir keren yang sulit dipercaya telah berusia 107 tahun (awet muda!). Bagaimana Edward menahan nafsunya untuk menggigit dan mencicipi darah Bella, oke, itu menarik. Saya suka adegan-adegan saat Edward menatap Bella--yang kata Mike--seperti hendak memakan Bella. Saya juga suka adegan 'panas' (yang sebenarnya tidak panas-panas amat, sih) di kamar Bella. Hehehe. Tapi yang paling mengasyikkan tentu saja melihat Edward menggendong Bella ke puncak pohon tinggi. Huf, pasti seru kalau manusia biasa memiliki kecepatan, kekuatan dan kemampuan membaca pikiran seperti yang Edward miliki. Dan bagaimana Edward--dan keluarganya--berjuang menyelamatkan Bella dari kejaran James, mungkin akan membuat cewek-cewek berkhayal, seandainya kekasih mereka memiliki cinta sebesar cinta Edward pada Bella...

Tapi dasar Hollywood. Supaya seru, dibuatlah Bella disiksa terlebih dahulu oleh James di studio balet sebelum Edward dan keluarganya datang menolong. Mirip film robot-robotan Jepang, James dikeroyok dan dibakar. 'Perang' antara geng James dengan Edward sekeluarga hanya berlangsung mungkin hanya dalam 30 menit terakhir dalam film. Semuanya sudah mencakup adegan pertemuan keluarga Cullen plus Bella dengan trio vampir pengisap darah manusia, kejar-kejaran di antara mereka dan perang. Simpel... karena sekali lagi, ini film remaja!

Yang simpel-simpel itu juga saya saksikan lewat film berikutnya, DUNYA & DESIE. Meskipun pihak Jiffest membuat kesalahan dalam menyusun sinopsis film dalam buku program, setelah menonton saya cukup puas dan tak terganggu. Ceritanya nih, tentang dua sahabat yang 'mengikuti jalannya' sendiri.

Yah, begitulah kira-kira. Dunya (Maryam Hassouni) melarikan diri dari perjodohan dengan sepupunya yang culun karena ngambek pada ibunya dan Desie (Eva van de Wijdeven)--yang juga ngambek pada ibunya--ingin memastikan bahwa ayahnya menginginkan dirinyanya meskipun mereka belum pernah bertemu. Bermacam peristiwa mereka alami saat bertualang mencari ayah Desie di Maroko, negara asal Dunya. Mulai dari dicopet dua cowok yang sok sayang kucing, didenda oleh polisi hingga menginap di penginapan kumuh.

Pada akhirnya, petualangan mereka membawa Desie bertemu dengan ayahnya dan Dunya menemukan kampung halamannya. Saat mereka kembali pada keluarga masing-masing, mereka menyadari bahwa sesungguhnya mereka dicintai oleh keluarga yang mereka tinggalkan. Filmpun diakhiri dengan pesta di pantai yang hangat penuh kekeluargaan. Simpel....

Nah, yang simpel-simpel itulah yang saya suka. Sederhana, tidak ribet, tidak aneh-aneh, ringan tapi tetap memuaskan hati.

Tapi... jelas sekali, TWILIGHT hanya untuk menghibur. Sementara DUNYA & DESIE dengan manis menampilkan persahabatan dua gadis berbeda bangsa, budaya dan agama yang berhasil menyelaraskan perbedaan di antara mereka.

Meskipun sama-sama merupakan film adaptasi, TWILIGHT diadaptasi dari novel berjudul sama karya Stephanie Meyer sedangkan DUNYA & DESIE diangkat dari serial berjudul sama karya Dana Dechustan, kepuasan yang saya rasakan berbeda.
Kalau menonton TWILIGHT, ya... semata untuk mencari hiburan yang berbeda. Maksudnya, terhibur karena puas memelototi cewek imut dan cowok ganteng tapi agak mengerikakan hehehe. Juga, tentu saja merasakan ketegangan yang lumayan-lah. Tapi, saya juga suka tuh tampangnya Jackson Rathbone (Jasper). Apalagi pas dia berusaha menahan diri sampai tegang banget karena takut melukai Bella.
Kalau DUNYA & DESIE, temanya agak berat. Tapi karena dikemas dengan ringan, saya asyik-asyik saja menonton sepak terjang mereka. Maryam Hassouni, sebenarnya tampangnya lebih menarik hati saya daripada Kristen Stewart. Untuk Eva van de Wijdeven, I don't like blondie... Terlepas dari fisik mereka, akting mereka oke. Tapi yang paling oke ya cerita filmnya yang berakhir dengan manis. Benar-benar, baik TWILIGHT maupun DUNYA & DESIE memahami selera penonton yang ga suka mikir seperti saya hehehe.
Akhir kata, setelah 'meracau' panjang lebar, saya hanya bisa bilang : seandainya film remaja di Indonesia dapat dibuat sebaik dan sematang ini.... Ihiks!

Read More..