Sabtu, 26 Juli 2008

SEANDAINYA KITA BISA MEMBUAT FILM SEKELAS THE DARK KNIGHT

Catatan : Tulisan ini bukan resensi film, hanya catatan saya setelah menonton film bioskop terbaik tahun ini. Soalnya, saya tidak bisa meresensi film (bagaimana mau meresensi kalau inti dari misalnya, "3 Hari untuk Selamanya" saja saya tidak mengerti?) dan memang tidak berminat.


Dua hari yang lalu, setelah berjuang menembus kemacetan Jakarta di atas Kopaja 57 (hebat 'kan, ke mana-mana saya selalu naik 'mobil besar'), akhirnya saya tiba juga di Blok M Plaza. Tujuannya hanya satu : menonton The Dark Knight (TDK).


Sebelumnya, saya memang tidak terlalu antusias menyambut 'kedatangan' Manusia Kelelawar ini mengingat tiga tahun sebelumnya sempat dibuat agak bete menonton Batman Begins yang menurut saya ceritanya aduuuh, biasa... Saya pikir, film superhero dengan cerita paling keren adalah Spiderman 2. Tentu saja sebelum saya menonton TDK ini.

Tapi setelah mengingat bahwa ini adalah film terakhir mendiang aktor favorit saya, Heath Ledger, akhirnya saya mengumpulkan tekad untuk menyaksikan film ini. Apalagi, menurut sebuah resensi (sebenarnya saya tidak begitu percaya pada apa kata kritikus film, tapi penyajian resensi TDK yang menarik mulai memengaruhi saya) yang saya simak, film ini dipastikan penuh kejutan demi kejutan, maka saya pun tergerak untuk menontonnya.

Dan ternyata...

TDK tidak seperti yang saya harapkan. Maksudnya, MELEBIHI APA YANG SAYA HARAPKAN!

Hiks... dengan sangat malu, saya harus mengakui bahwa saya telanjur menganggap enteng film sekueruen (buset, sampai segitunya memuji!) ini. Bukan adegan truk terpental atau kerennya Batpod (hmm, apa betul motor dengan bentuk seaneh itu bisa ngebut?) yang membuat saya jadi ingin menontonnya lagi. Yang bikin saya takjub adalah JALAN CERITANYA YANG TIDAK BISA DITEBAK SAMPAI AKHIR FILM.


Saya gemas menyaksikan keegoisan para penduduk Gotham yang berlaku tidak adil pada Batman karena ketakutan menghadapi teror Joker. Well, seperti itulah manusia bila hidupnya terancam. Habis manis sepah dibuang...



Belum lagi adegan thriller favorit saya yang justru tidak menampilkan campur tangan Batman : dua ferry berisi penumpang (yang satu berisi narapidana dan yang satunya lagi berisi rakyat 'tak berdosa') yang masing-masing dipasangi bom oleh Joker. Penumpang masing-masing ferry diberi pemicu bom dari ferry yang satunya. Para penumpang masing-masing ferry harus memilih : meledakkan ferry yang lain, atau tidak meledakkan tapi dengan risiko justru diledakkan oleh para penumpang ferry yang satunya. Di adegan inilah kita bisa melihat tabiat asli kebanyakan manusia yang mementingkan diri sendiri dan merasa dirinya paling benar. Ternyata, orang-orang yang (katanya) jahat pun, masih punya hati dan merasa lega bila tidak perlu menjahati orang lain. Seorang pahlawan tidak selamanya dibutuhkan selama setiap orang masih menjaga hatinya (Aa' Gym banget...) Saya juga terkesan dengan karakter narapidana cool yang mengambil tindakan 'heroik' meskipun hal itu mengancam jiwanya. Pemerannya Tommy 'Tiny' Lister, semoga karirnya di dunia akting semakin cemerlang.

Akhir film ini membuat perasaan saya campur aduk (malah, saya sempat hampir nangis, hehehe) seperti adonan kue. Kesal pada Joker, sedih pada Two Face dan kasihan pada Batman. Uuuugh, mengapa setelah segala kebaikan kita tebar, yang didapatkan hanya kesedihan?
Can you avenge evil and not become it?
Itu tagline favorit saya dalam TDK. Benar juga ya, apakah kita bisa membasmi kejahatan tanpa 'mengotori' tangan sendiri? Kalau heroisme kita tidak dihayati benar-benar, salah-salah kita bisa menjadi bagian dari kejahatan itu sendiri. Satu insiden menyakitkan bukan tidak mungkin mengubah kita 180 derajat. Kalau sudah begini, pilihan menjadi seorang pahlawan (atau lebih dari itu) harus diambil oleh orang-orang yang benar-benar konsisten hingga mampu mengorbankan segalanya, termasuk kehidupannya sendiri. Jadi, untuk Batman, bisa dikatakan, out of the darkness, comes the Knight. Tagline ini sumpah, memang sangat menggambarkan sosok Batman dan isi film ini.
Berdasarkan pengertian saya mengenai Teknik Bercerita 9 Babak (9 Act Structure) yang dipaparkan Sony Set (http://tvlab.blogspot.com/) dalam buku Jadilah Penulis Skenario Profesional, saya bisa mengatakan bahwa TDK sukses mengembangkan lebih jauh teknik bercerita yang banyak diaplikasikan dalam film box office seperti The Fugitive. Dalam TDK, Batman menjadi 'antihero' karena 'kelemahan'-nya menghadapi 'teror' penduduk Gotham yang sebelumnya menganggapnya sebagai pahlawan. Ia tidak diburu oleh agen-agen pemerintah seperti dalam Enemy of the State, tetapi diburu oleh perasaan bersalah karena 'membiarkan' penduduk Gotham diteror oleh Joker. Padahal, sesungguhnya, Batman-lah sang ksatria yang senantiasa melindungi Gotham City.

Sekali lagi, saya tahu, adegan aksi dalam film ini memang bagus dan seru, tetapi bukan itu yang menakjubkan bagi saya. Bagaimana para penulis cerita membangun cerita yang kuat dan penuh kejutan (ditambah akting cihuy Heath Ledger, tentunya!) adalah sisi yang paling saya nikmati dan kagumi dari TDK.



Menonton film ini membuat saya jadi berandai-andai : seandainya pembuat film kita bisa membuat film thriller sekelas TDK. Tidak usah pakai adegan aksi (nanti malah jelek, karena bujetnya minim dan lain-lain hal), yang penting ceritanya... Juga, membuat saya kagum sekaligus iri : kok saya belum mampu membuat cerita sekeren TDK? Hu-uh, sebal!

Pada akhirnya, saya harus mengakui, bahwa TDK adalah film bioskop terbaik sepanjang tahun ini. Biasanya saya juga malas berpromosi mengenai film yang baru saya tonton. Tapi untuk TDK, apa boleh buat, saya harus bilang, RUGI KALO GA' NONTON!


Read More..

Rabu, 09 Juli 2008

BIOSKOP ALTERNATIF 2

PERINGATAN SEBELUM MEMBACA TULISAN INI : HANYA UNTUK PENGGEMAR FILM YANG MALAS "MIKIR" SEPERTI PENGELOLA BLOG INI. PENULIS BUTUH KEBERANIAN BESAR UNTUK MENULISKAN PEMIKIRAN YANG HANYA AKAN MEMBAWA AIB SEPERTI INI. SEPERTI APA AIB-NYA, SILAKAN BACA SAMPAI SELESAI!

Yap, balik lagi!

Setelah tempo hari berceloteh tentang bioskop yang sangat peduli pada isi kantong pengunjungnya, kini saya akan berceloteh mengenai bioskop alternatif yang sangat peduli pada... isi kepala pengunjungnya, terutama bagi mereka yang tak terbiasa dengan film-film "art" atau "berat". Maksudnya, film-film bagus tapi kurang menghibur meskipun ada juga yang komunikatif.


Inilah ikhwal yang melatari penulisan tulisan ini :
Beberapa bulan lalu, untuk pertama kalinya saya mengunjungi JIFFEST (sebelumnya saya menetap di kota kecil yang tidak ada bioskopnya, kacian deh!), sesuai cita-cita lama yang terpendam bertahun-tahun. Hiks...

Dari empat film yang saya tonton, yakni KALA, SUELY IN THE SKY (Brazil), 3 HARI UNTUK SELAMANYA dan THE PHOTOGRAPH (dua film terakhir ini sudah saya tonton di bioskop beberapa bulan sebelumnya, tapi karena di JIFFEST gratisan, ya saya nonton lagi), hanya film terakhir yang memuaskan hati. Soalnya, hanya film ini yang bisa saya "baca", maunya ngomongin apa. Sementara terhadap tiga film lainnya, saya keluar dari teater di Blitz GI dengan bertanya-tanya, tiga film itu maunya apa sih?





Nonton KALA, saya dibuat bingung, kenapa harus mencari-cari harta karun segala? Kenapa juga FAHRANI harus membunuh setiap orang kecuali FAHRI ALBAR dan polisi gay (bukannya diskriminatif, tapi saya lupa nama pemerannya...) yang mengetahui posisi harta karun tersebut? Lalu untuk apa ada makhluk-yang-entah-apa-namanya-itu kecuali untuk menyebar teror?




Nonton SUELY... yang sebenarnya lebih "ringan", saya jadi bete. Sejak awal diceritakan bahwa Suely ingin pergi seorang diri dari kotanya. Karena itu, dia berusaha mencari uang dengan segala cara untuk ongkos bis. Ending-nya ya begitu itu, tidak ada kejutan yang bisa menghilangkan rasa bete saya. Kalau sejak awal hingga akhir sudah diketahui bahwa Suely akan pergi jauh, mengapa film-nya harus berpanjang-panjang segala? Intinya hanya perjuangan Suely mengumpulkan uang atau bagaimana?

Nonton 3 HARI...(ini film "art" atau bukan?) saya juga masih lemot meskipun sudah dua kali nonton. Saya masih tidak mengerti, Ambar (ADINIA WIRASTI) bertengkar dengan Yusuf (NICHOLAS SAPUTRA) gara-gara TARZAN (kalau yang ini, saya lupa nama perannya), ngebut, lalu menangis ingat ibunya hanya gara-gara Ambar melihat kecelakaan maut? Apakah anak manja memang begitu, ya? Sok tapi cengeng? Lalu adegan Yusuf memelototi Ambar yang menari-nari dengan latar gelap dan seberkas cahaya menyorot dari belakang, maksudnya apa? Nafsu? Eh, ada lagi. Kok bisa-bisanya Yusuf kepincut sama penari jalanan padahal masih ada Ambar yang (maaf) belum "disentuh" sampai di Yogya? Bingung, nih! Tolong dijelaskan dong, Kak Riri!


Nah... berbekal pengalaman pahit itu, bertambah lagi cita-cita aneh dari seseorang yang lemot seperti saya. Usul : bagaimana kalau dibuat bioskop yang membantu penonton yang tidak terbiasa menikmati film-film "art" alias "berat" seperti saya ini?

Cara kerjanya begini. Film-film "art" yang akan diputar, ditayangkan dalam dua versi. Versi pertama ditujukan untuk pencinta film "art" yang otaknya sudah pasti lebih encer. Sedangkan versi kedua (yang diputar di jam berbeda, tentunya), disisipi dengan gambar sutradara dan atau penulis ceritanya. Bukan asal gambar, melainkan gambar mereka sedang menjelaskan maksud dari adegan yang baru saja berlangsung. Jadi, sekiranya ada adegan yang "berat", pembuat filmnya bisa membantu penonton menjelaskan inti adegan tersebut.

Kalau menonton tampang sutradara tidak terlalu mengasyikkan, bagaimana kalau dibuatkan semacam teks yang menjelaskan inti dari adegan yang baru saja berlangsung. Teks-nya bisa muncul di antara adegan, atau bahkan lewat sekelebatan kayak newsticker di bagian bawah layar agar tak mengganggu kenyamanan menonton. Pokoknya, segala cara untuk membuat penonton memahami film tersebut. Jadi, setelah keluar dari teater, semoga tak ada lagi penonton yang bersungut-sungut seperti waktu teman-teman saya menonton BANYU BIRU beberapa tahun silam. Bagaimana, coy?
Usul konyol?

Bukan. Lebih tepat disebut usul GILA. Walaupun bioskop seperti ini kelak terwujud, bisa dipastikan tak akan ada penonton yang mau mengunjunginya, termasuk saya sekalipun. Alasannya bisa beragam, tapi alasan saya cuma satu : saya tidak mau bego-nya ketahuan!

Read More..